Kaleidoskop 2022: Era Suku Bunga Tinggi Timbulkan Ancaman Resesi
Dimulainya era suku bunga tinggi pada 2022 ini membuat ancaman resesi menguat karena inflasi tidak kunjung menurun
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tingkat inflasi yang melonjak akibat krisis energi imbas perang di Ukraina dan kendala pasokan akibat penguncian Covid-19 di China, membuat bank sentral beberapa negara menaikkan suku bunga.
Dimulainya era suku bunga tinggi pada 2022 ini membuat ancaman resesi menguat karena inflasi tidak kunjung menurun, yang berakibat terhadap merosotnya pertumbuhan ekonomi global.
Kenaikan ini diawali Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed yang mengumumkan kenaikan suku bunganya sebanyak 75 basis poin (bps) pada Juli 2022, untuk menjinakkan laju inflasi Amerika Serikat yang terus meninggi.
Baca juga: Perekonomian Inggris Makin Suram, Diprediksi Jatuh ke Jurang Resesi di 2023
Kenaikan suku bunga The Fed 75 bps tersebut untuk bulan kedua berturut-turut setelah sebelumnya pada Juni lalu menaikkan tingkat suku bunganya dengan besaran sama.
Sebulan kemudian dari tanah air, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 3,75 persen.
Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, keputusan tersebut diambil berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 22-23 Agustus 2022.
"Rapat dewan gubernur Bank Indonesia pada tanggal 22 dan 23 Agustus 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 3,75 persen," ucap Perry dalam konferensi pers Bank Indonesia, Selasa (23/8/2022).
Tidak hanya berhenti sampai di situ, BI dalam beberapa bulan terakhir ini terlihat agresif meningkatkan suku bunga acuannya.
Baca juga: Prospek Investasi Properti di IKN Diyakini Tetap Seksi di Tengah Ancaman Resesi
BI menetapkan kebijakan untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) menjadi 5,25 persen pada November 2022, dari awalnya sempat menahan suku bunga di angka 3,50 persen pada Juli 2022.
Lantaran ada kenaikkan inflasi nasional yang cukup tinggi, BI akhirnya memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan dalam kurun waktu 4 bulan berturut-turut, mulai Agustus hingga November 2022.
Dibalik hal ini, investor bisa juga mencermati adanya tren kenaikan suku bunga menjadi dasar untuk mengolah portfolio investasi.
Pengamat Pasar Uang dan Komoditas sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi mengatakan, pilihan instrumen investasi saat ini adalah produk obligasi, Surat Berharga Negara (SBN), dan deposito.
"Instrumen investasi obligasi cukup menarik dengan adanya kenaikan suku bunga 5,25 persen. Ini membuat deposito juga cukup menarik, sama halnya SBN pun juga cukup menarik," ucap Ibrahim kepada Tribunnews.com, Jumat (18/11/2022).
Baca juga: Tahun 2023 Diprediksi Terjadi Resesi, Begini Antisipasi Industri Telko
"Jika diurutkan, untuk instrumen investasi yang paling menarik adalah obligasi, SBN, kemudian deposito, dan terakhir saham," sambungnya.
Sebagai informasi, obligasi adalah bukti pinjaman atau utang yang diberikan oleh investor kepada penerbit obligasi. Obligasi bisa diterbitkan oleh perusahaan ataupun pemerintah.
Di sisi lain, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menyampaikan, kenaikan suku bunga acuan BI menjadi 5,25 persen bakal berdampak pada naiknya suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Menurutnya, kenaikan suku bunga acuan itu diprediksi akan terus meningkat hingga tiga kali di tahun 2023. Hal itu kata Bhima, sebagai upaya menahan laju pelemahan kurs rupiah dan pengendalian inflasi.
Baca juga: Perekonomian Inggris Makin Suram, Diprediksi Jatuh ke Jurang Resesi di 2023
"Tren bunga mahal terus terjadi melihat situasi global yang kompleks. Efeknya tentu ke suku bunga KPR floating rate bisa naik 2-3 persen tahun depan. Karena bank akan sesuaikan dengan suku bunga BI," ujar Bhima saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (30/11/2022).