Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Tak Terima Beras RI Disebut Termahal di Asia Tenggara, Maruf Amin: Harus Dilihat Secara Rata-rata

Harga beras di tanah air memang fluktuatif tetapi dalam batas wajar, karena salah satunya dipengaruhi masa panen.

Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Tak Terima Beras RI Disebut Termahal di Asia Tenggara, Maruf Amin: Harus Dilihat Secara Rata-rata
www.kominfo.go.id
Wakil Presiden Maruf Amin tidak terima beras Indonesia disebut termahal dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya. 

Lebih jauh, dirinya menuturkan bahwa kebijakan manajemen perberasan di tanah air saat ini sudah sangat baik, mulai dari peningkatan kualitas, pengadaan, hingga distribusi kepada masyarakat.

“Kemudian ya tentu harga beras. Ini semuanya sudah sangat baik sekali. Semua sudah berjalan, pengadaan, semua,” tutur Ma'ruf.

Dalam beberapa tahun terakhir, Ma'ruf mengatakan Indonesia tidak impor beras karena kebutuhan maupun cadangan beras dalam negeri telah tercukupi.

Ma'ruf mengatakan Pemerintah saat ini melakukan impor beras untuk cadangan.

“Sudah (tiga) tahun kita tidak impor kan? Ya, sekarang pun sebenarnya cukup, cuma [kalau akan impor] untuk cadangan, jadi [misalnya] ada impor itu untuk cadangan,” pungkas Ma'ruf.

Disebut Termahal

Berdasarkan laporan Bank Dunia Indonesia Econic Prospect (IEP) edisi Desember 2022, harga beras di Indonesia 28 persen lebih tinggi dari harga di Filipina.

Baca juga: Bambang Haryo Kritik Keras Rencana Pemerintah Impor Beras dari Vietnam

Berita Rekomendasi

Bank Dunia melaporkan harga beras di Indonesia lebih tinggi dari negara-negara ASEAN lain selama satu dekade terakhir.

Bahkan, harga beras Indonesia dua kali lipat harga beras di Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Thailand.

"Konsumen Indonesia membayar harga beras dan makanan pokok lainnya lebih tinggi daripada negara tetangga," tulis Bank Dunia dalam laporannya, seperti dikutip Selasa (20/12/2022).

Mahalnya harga beras di Indonesia, tulis Bank Dunia, disebabkan karena adanya kebijakan pemerintah untuk mendukung harga pasar bagi produsen di sektor pertanian.

Kebijakan yang dimaksud meliputi kebijakan pembatasan perdagangan seperti tarif impor, monopoli impor BUMN untuk komoditas utama serta kebijakan harga pembelian minimum di tingkat petani.

Selain itu, kurangnya investasi jangka panjang dalam riset dan pengembangan pertanian, layanan penyuluhan, dan pengembangan sumber daya manusia pertanian telah menghambat peningkatan produktivitas yang dapat menurunkan harga pangan dalam jangka panjang.

"Rantai pasokan yang panjang dan biaya distribusi yang tinggi, sebagian karena geografi negara yang kompleks, juga menaikkan harga pangan bagi konsumen di negara tersebut," jelas Bank Dunia.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas