Utang Pemerintah pada Desember 2022 Mencapai Rp7.733 Triliun, Kemenkeu: Masih Batas Aman
Utang Indonesia didominasi Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 6.846,89 triliun.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Utang Indonesia per 30 Desember 2022 mencapai Rp7.733,99 triliun, atau 39,57 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Jika dibandingkan dengan November 2022 yang sebesar Rp 7.554,25 triliun, utang pemerintah mengalami kenaikan Rp 179,74 triliun pada Desember 2022.
Selain itu, rasio utang terhadap PDB juga meningkat dari 38,65% menjadi 39,57%.
Baca juga: Cegah Gagal Bayar, Menkeu Amerika Serikat Desak Parlemen Naikkan Batas Utang Pemerintah
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) jika dibandingkan dengan periode yang sama pada Desember 2021, rasio utang terhadap PDB menurun dari sebelumnya 40,74% menjadi 39,57%.
Meski ada peningkatan dari sebelumnya, Kemenkeu menyebut rasio utang terhadap GDP pada Desember 2022 masih dalam batas aman.
"Rasio utang terhadap PDB dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal," terang Kemenkeu dalam APBN Kita Edisi Januari 2023, yang dikutip dari Kontan, Rabu (18/1/2023).
Kemenkeu menyebut fluktuasi posisi utang pemerintah dipengaruhi oleh adanya transaksi pembiayaan berupa penerbitan dan pelunasan SBN, penarikan dan pelunasan pinjaman, serta perubahan nilai tukar.
Terkait rinciannya, utang Indonesia didominasi Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 6.846,89 triliun, yang mana mencapai 88,53% dari seluruh komposisi utang pada akhir Desember 2022. Sementara itu, utang dari pinjaman sebanyak Rp 887,10 triliun, yang mana mencapai 11,47%.
Berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi oleh mata uang domestik (Rupiah), yaitu 70,75%. Kemenkeu menyatakan pemerintah akan terus berkomitmen untuk mengelola utang dengan hati-hati.
Demi menjaga akuntabilitas pengelolaan utang, pemerintah akan selalu mengacu kepada peraturan perundangan dalam kerangka pelaksanaan APBN, yang direncanakan bersama DPR, disetujui dan dimonitor DPR, serta diperiksa dan diaudit BPK. (Ferry Saputra/Kontan)