Larangan Ekspor Nikel Digugat ke WTO, Jokowi Minta Menterinya Maju, RI Tak Boleh Diatur Negara Lain
Pemerintah memastikan program hilirisasi akan tetap dilakukan untuk mewujudkan nilai tambah produk nikel.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menegaskan proses hilirisasi komoditas nikel tetap berlanjut.
Menurut Bahlil, sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo yang tidak ingin kekayaan alam dikeruk oleh negara maju.
"Begitu kita menyetop ekspor nikel Uni Eropa membawa kita ke WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) dan kita kalah di tahap pertama tetapi Bapak Presiden memerintahkan maju terus negara-negara kita nggak boleh diatur negara lain," ucapnya dalam webinar The Most Prestigious Economic Forum in Aceh 2023, Rabu (25/1/2023).
Bahlil menyatakan hilirisasi akan tetap dilakukan untuk mewujudkan nilai tambah produk nikel.
Baca juga: Banding Terkait Larangan Ekspor Bijih Nikel di WTO Masuk Antrean Panjang, Mendag: Kita Hadapi
Dia menyebut nikel menjadi bahan baku yang sangat diminati karena dunia tengah menuju green energy yakni kendaraan listrik (EV).
"Jadi dunia akan meminta itu (nikel, red) maka hilirisasi nikel atau ekosistem membangun baterai nanti akan dipusatkan di Indonesia," ungkap Bahlil.
Cadangan bijih nikel yang dimiliki Indonesia terbesar dibandingkan negara-negara lain dengan porsi mencapai 23,7 persen.
Bahlil menambahkan saat ini Indonesia sudah memiliki beberapa kontrak rencana investasi untuk mengembangkan komponen baterai mobil listrik di Indonesia.
"Kontraknya sudah ada investasi pertama untuk LG dari Korea Selatan sebesar Rp142 triliun, kemudian dari Jerman (VW) ada, dan dari China (CATL dan INBC) juga ada," tukasnya.
Selain mendukung hilirisasi, Bahlil menjelaskan investasi juga berdampak besar melalui kerjasama dengan BUMN MIND ID, PLN dan Pertamina.
Pemerintah juga akan mengutamakan porsi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) serta penyerapan tenaga kerja lokal.
Bahlil menyampaikan sumber daya alam RI apabila di-breakdown dengan peluang-peluang peta investasi bisa mencapai 21 komoditas.
Dari peluang tersebut dia memprediksikan, sebanyak 29 miliar dolar Amerika Serikat bakal disumbang oleh masing-masing dari 12 komoditas itu.
Sehingga kata dia, hal tersebut bisa sangat berdampak pada peningkatan pajak negara.
"Taksiran kami, kurang lebih sekitar 29 sampai 30 miliar dolar AS. Itu baru satu komoditas, maka kemudian itu berdampak pada peningkatan pajak. Kemudian pada peningkatan kompetitif kita, dan neraca perdagangan kita. Kami tidak ingin berakhir di nikel," tegas dia.
Menjadi Negara Besar
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, Indonesia harus menjaga momentum untuk menjadi negara besar.
Untuk itu, Indonesia harus bersiap mengambil langkah dalam menatap situasi perekonomian pada 2023.
"Dinamika ke depan ditentukan oleh kebijakan hari ini. Situasi ekonomi pascapandemi kita lihat rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia sampai 2027 itu ada di 4,3 persen (data IMF)," ujar Erick.
Baca juga: China Layangkan Gugatan Terhadap Amerika di WTO Terkait Pembatasan Chip
Erick menyampaikan, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2023 mencapai lima persen atau menempati peringkat kedua dari negara-negara G20 di bawah India dengan 6,10 persen.
Proyeksi tersebut unggul dibandingkan Cina dengan 4,40 persen maupun Amerika Serikat (AS) dengan 1 persen.
Sementara negara-negara G20 lain seperti Italia, Jerman, Rusia, diproyeksikan mengalami pertumbuhan negatif
"Perbandingannya dengan negara-negara G20 posisi kita sangat baik, ini konteks menarik artinya posisi kita sudah baik, apakah kita ada kekurangan, pasti ada," ucap Erick.
Untuk itu, pemerintah terus berupaya menelurkan kebijakan yang bermanfaat untuk seluruh rakyat, bukan pada pilihan politik.
Erick menilai seluruh elemen bangsa harus bersatu untuk meneruskan capaian yang baik tersebut.
"Kita membuat kebijakan untuk semua rakyat, tidak terjebak pada pilihan politiknya, kalau kita terjebak akhirnya kita tidak melihat pertumbuhan yang kita inginkan, saya rasa tidak baiklah kalau seperti itu," lanjutnya.
Erick menyampaikan, keseriusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam meningkatkan akselerasi hilirisasi sumber daya alam (SDA) menjadi kunci pertumbuhan ekonomi sekarang dan di masa yang akan datang.
Baca juga: Pemerintah Kejar Target Hilirisasi Investasi 545,3 Miliar Dolar AS, Bahlil: Syarat Jadi Negara Maju
Indonesia, ucap Erick, tak mendapatkan manfaat besar saat terjadi commodity boom akibat mayoritas mengirimkan raw material atau bahan mentah ke luar negeri.
"Kebanyakan raw material, jadi value addednya tidak diciptakan di Indonesia, akhirnya pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan pekerjaan ada di negara lain. Saat commodity boom selesai, kita juga terkena efeknya," ucap dia.
Erick mengatakan, Jokowi tak gentar dengan gugatan Uni Eropa (UE) ke WTO atas kebijakan Indonesia melarang ekspor sejumlah kekayaan alam seperti bijih nikel hingga bauksit. (Tribun Network/Reynas Abdila)