Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Sektor Transportasi Sumbang 23 Persen Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia, Ini Yang Harus Dilakukan

Berdasarkan laporan Institute for Essential Services Reform (IESR), 23 persen emisi gas rumah kaca berasal dari sektor transportasi.

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Sektor Transportasi Sumbang 23 Persen Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia, Ini Yang Harus Dilakukan
Tribunnews/JEPRIMA
Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Berdasarkan laporan Institute for Essential Services Reform (IESR), 23 persen emisi gas rumah kaca berasal dari sektor transportasi. Dari angka tersebut, 90 persen berasal dari transportasi darat. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang utama emisi gas rumah kaca di Indonesia.

Berdasarkan laporan Institute for Essential Services Reform (IESR), 23 persen emisi gas rumah kaca berasal dari sektor transportasi. Dari angka tersebut, 90 persen berasal dari transportasi darat.

"Di Indonesia transportasi sendiri menyumbang 23 persen emisi gas rumah kaca, di mana 90 persen berasal dari transportasi darat," ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam sebuah diskusi yang berlangsung secara daring, Selasa (21/2/2023).

Baca juga: Kendaraan Listrik Bisa Jadi Solusi Pengurangan Kadar Polusi Udara

"Dan karena itu untuk bisa memangkas emisi gas rumah kaca dan mencapai net zero emision, maka dekarbonisasi di transportasi darat harus dilakukan," sambungnya.

Fabby melanjutkan, dekarbonisasi sektor transportasi merupakan strategi krusial dalam mitigasi perubahan iklim untuk mencegah kenaikan temperatur bumi melebihi 1,5 derajat Celsius.

Ia memandang pembangunan ekosistem kendaraan listrik mutlak dilakukan untuk meningkatkan minat masyarakat untuk mengadopsi kendaraan listrik, mempercepat pemerataan infrastruktur dan pengembangan industri kendaraan listrik dalam negeri.

Berita Rekomendasi

Dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar minyak, lanjut Fabby, kendaraan listrik lebih baik dalam menekan emisi dan rendah biaya operasional.

Berdasarkan analisis IESR menunjukkan, kendaraan listrik mengeluarkan emisi 7 persen lebih sedikit dan biaya operasional per kilometer-nya 14 persen lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak.

IESR dalam laporannya juga mencatat, ketergantungan terhadap impor bahan bakar telah memicu terjadinya inflasi pada akhir tahun 2022 akibat kenaikan harga BBM bersubsidi.

Baca juga: Emisi Karbon Dogecoin Turun 25 Persen Berkat Campur Tangan Elon Musk

Konsumsi BBM meningkat rata-rata 1,2 juta kiloliter per tahun antara 2015 dan 2020.

“Kenaikan nilai impor BBM menyebabkan devisa tergerus, melemahnya nilai tukar dan memaksa pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM, yang berdampak pada inflasi," ucap Fabby.

"Berbagai dampak ini bisa dihindari jika impor BBM dipangkas drastis. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan penggunaan kendaraan listrik dan mensubstitusi kendaraan motor berbahan bakar minyak,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas