Buntut Kasus Rafael Alun, Muncul Ajakan Boikot Bayar Pajak, Ini Kata Ketua MUI dan Pengamat
Gerakan boikot bayar pajak memang sempat ramai di media sosial merespons harta pegawai eselon III Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Keuangan(Kemenkeu) mendapat pukulan telak setelah beberapa pegawai pajak diketahui memiliki harta yang dinilai tidak wajar. Publik merespons isu tersebut dengan mengglorifikasi gerakan boikot bayar pajak.
Namun, gerakan boikot bayar pajak mendapat penolakan dari masyarakat berbagai kalangan.
Sebab, menolak bayar pajak sama saja tidak mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang.
Baca juga: Cegah Boikot Bayar Pajak Kemenkeu Diminta Segera Lakukan Reformasi Perpajakan
Gerakan boikot bayar pajak memang sempat ramai di media sosial merespons harta pegawai eselon III Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo yang dinilai tak wajar. Berdasarkan dokumen Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang Rafael laporkan per 2021, ia memiliki total kekayaan Rp 56 miliar. Bahkan memiliki safe deposit box sebesar Rp 37 miliar.
Baca juga: Massa Partai Buruh Demo DPR Hari Ini, Tolak UU Cipta Kerja dan Desak Dirjen Pajak Dicopot
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis, mengatakan tindakan menolak bayar pajak sama saja membangkang terhadap negara. Di sisi lain, ia mendorong pemerintah menindak oknum yang diduga menyalahgunakan jabatan.
"Masyarakat tetap wajib bayar pajak, karena itu bagian dari ketaatan kepada pemerintah yang sah. Jangan gara-gara oknum pajak sampai masyarakat membangkang pada negara dengan menolak bayar pajak. Tapi jangan biarkan oknum itu," kata Cholil melalui akun resmi twitternya dikutip Senin(13/3/2023).
Hal senada juga dilontarkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata beberapa waktu lalu.
Ia berharap tak ada lagi suara boikot bayar pajak. Ia mengimbau masyarakat tetap patuh membayar pajak, apalagi Maret sudah masuk bulan untuk penyampaian SPT yang berakhir tanggal 31 Maret 2023 mendatang.
"Jangan ada lagi suara-suara untuk melakukan pemboikotan pajak. Pajak sampai diboikot, kami enggak bisa kerja, termasuk dalam rangka untuk memperbaiki tata kelola pemerintah berbasis elektronik, semua butuh dana dan dana itu dari mana? Dari pajak," ujar Alexander.
Sementara itu Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar saat berbincang dengan Tribun mengatakan, penerimaan pajak sangat penting bagi negara, karena pajak memberikan banyak manfaat untuk pembangunan.
Kekecewaan bisa disalurkan dengan cara lain, seperti mendorong transparansi dan pembenahan di internal Ditjen Pajak.
"Uang pajak yang kita bayarkan untuk membayar gaji guru, tentara, dan para pelayan publik lainnya. Uang pajak yang kita bayarkan digunakan untuk subsidi kelompok yang berpendapatan rendah, memberikan bantuan sosial, dan membangun berbagai infrastruktur untuk rakyat," kata Fajry.(Willy Widianto)