Petani Gula Usul Harga Acuan Pemerintah Tingkat Eceran Dihapus
Komoditas gula yang sebagian besar diproduksi oleh petani dan industri tidak banyak mendapat dukungan pemerintah.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
![Petani Gula Usul Harga Acuan Pemerintah Tingkat Eceran Dihapus](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/kebun-tebu.jpg)
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengusulkan HAP (Harga Acuan Pemerintah) gula di tingkat eceran agar dihapus.
"HAP atau HET kami minta untuk dihapus, jadi nggak perlu lagi ada HAP atau HET dengan alasan gula petani ini bukan milik negara ya,” kata Sekretaris Jenderal APTRI, Nur Khabsyin, dikutip Sabtu (13/5/2023).
“Ini milik petani, jadi ini nggak perlu ada HAP atau HET biar harga itu sesuai dengan pasar. Sehingga petani bisa menikmati keuntungan dan tidak terbelenggu dengan HAP atau HET. Ini usulan kami," jelas dia.
Baca juga: Penyuluhan Budidaya Jamur Pangan Diharapkan Mendorong Ekonomi Petani di Karawang
Menurutnya, komoditas gula yang sebagian besar diproduksi oleh petani dan industri tak banyak mendapat dukungan pemerintah sehingga harga jualnya pun tak perlu diintervensi.
Ini berbeda dengan komoditas lainnya, seperti BBM dan pupuk subsidi yang biaya produksinya didukung atau disubsidi oleh pemerintah.
"Karena sekarang ini yang full milik negara adalah BBM, ada HET itu wajar. Kemudian pupuk subsidi, ada HET itu wajar juga. Tetapi, pupuk non subsisi ini tidak ada HET, dimana harga bebas jadi itu melonjak tajam ya," beber dia.
APTRI juga menyoroti penyesuaian harga pembelian gula di tingkat petani.
"Untuk HPP, APTRI mengusulkan Rp15.000/kg," kata Nur Khabsyin.
Usulan kenaikan HPP itu tentu bukan tanpa alasan. APTRI berpandangan, bahwa penyesuaian harga pembelian di tingkat petani ini telah dipertimbangkan Biaya Pokok Produksi (BPP) gula dari sejumlah komponen yang mengalami kenaikan.
"Wajar, jika HPP naik dikarenakan Biaya Pokok Produksi (BPP) gula juga naik, antara lain kenaikan biaya akibat pemakaian pupuk non subsidi, upah tenaga kerja, dan biaya transportasi," tutur dia.
Selain itu, penyesuaian harga di tingkat petani pun perlu dilakukan karena adanya penurunan produksi tebu.
"Saat ini, terjadi penurunan produksi tebu di kebun, dimana rata-rata penurunannya sekitar 20 persen. Jadi, misalkan satu hektar bisa keluar 100 ton sekarang tinggal menjadi 80 ton tebu. Penyebabnya antara lain adalah perubahan iklim akibat El-Nino,” katanya.
Belum lagi, lanjut Nur Khabsin, adanya permasalahan di pemupukan yang dinilai membuat aktivitas tanam jadi terkendala sehingga membuat penurunan produksi menjadi semakin sulit dihindari.
"Produksi tebu terus menurun dikarenakan pemupukan yang tidak optimal, dimana pupuk semakin mahal dan langka. Sehingga, banyak petani yang memupuk tebu tidak tepat waktu. Selain itu, dosis pupuk ini tidak bisa maksimal." beber dia.
Ia mencontohkan, satu hektar kebun tebu idealnya membutuhkan rata-rata 1 ton hingga 1,3 ton pupuk.
Namun, karena pupuk langka dan mahal, petani hanya bisa menyediakan 7 kuintal pupuk untuk 1 hektar. Harga pupuk non subsidi 4 kali lipat dari pupuk subsidi.
Melihat kondisi-kondisi di atas, Ia menilai kenaikan HPP sangatlah wajar.
Baca juga: Hadapi Elnino, Mentan SYL Minta Jajarannya Dampingi Para Petani di Lapangan
"Kenaikan HPP sangat wajar dan pengaruh terhadap inflasi juga relatif kecil," tegasnya.
Keluhan soal pupuk juga disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional APTRI, Soemitro Samadikoen.
Saat ini, aku Soemitro, petani tebu nyaris tidak menggunakan pupuk bersubsidi.
"Terlepas dari susah didapat, pemerintah juga sudah mengurangi porsi pupuk subsidi bagi petani tebu," tutur dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.