Ekspor Pasir Laut Dikritik, Pemerintah Tetap Lanjut Karena Bernilai Ekonomi dan Bahayakan Pelayaran
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Arifin menyampaikan dengan dibukanya ekspor pasir laut maka akan ada nilai ekonomi dari pengerukan sedimen karena hasilnya bisa dijual ke luar negeri.
"Sekarang begini, kalau mengendap jadi apa? Sedimen aja dan membahayakan alur pelayaran. Kan dikeruk ada ongkosnya, Ada nilainya dong. Maka ada yang mau ngga? Supply demand pasti ada," katanya.
Ia mengatakan sejumlah negara pasti berminat terhadap pasir laut dari Indonesia. Salah satunya Singapura.
Hanya saja kata dia, sebelum di ekspor, kebutuhan dalam negeri akan pasir laut harus dipenuhi terlebih dahulu.
Baca juga: Pemerintah Diminta Segera Kaji Ulang Izin Ekspor Pasir Laut, DPR: Jadi Ancaman Nyata Lingkungan
"Ya itu nanti kita lihat di sekitar sekitar, kalau memang ada kebutuhan di sekitar wilayah tersebut (dalam negeri) maka harus dipenuhi terlebih dulu," katanya.
Agar ekspor pasir laut tetap terkendali dan tidak merusak lingkungan, Arifin memastikan pemerintah akan mengawasinya secara ketat.
"Ya diawasi nanti," kata Arifin.
Tuai Kritik
Wakil Ketua Komisi VI DPR Martin Manurung menjelaskan, izin ekspor pasir laut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023, di mana aturan tersebut lebih banyak resiko negatifnya.
Ia menyebut, alasan pelarangan ekspor pasir laut yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Memperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 sudah sangat jelas, salah satunya tentang kerusakan lingkungan.
"Kita lihat para pemerhati lingkungan juga sudah bersuara untuk penolakan PP ini. Artinya ini jelas ancaman yang nyata terhadap lingkungan kita," kata Martin kepada Tribunnews, Selasa (30/5/2023).
Martin menilai, meski ekspor diperbolehkan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi sesuai dengan perundang-undangan Pasal 9 ayat Bab IV butir 2 huruf d, namun cara kontrolnya masih belum jelas seperti apa.
"Seperti kasus minyak goreng yang dulu (kasus kelangkaan minyak goreng). Diatur ada DMO (Domestic Market Obligation) tapi ternyata bobol juga," ungkapnya.
Baca juga: 20 Tahun Ditutup Ekspor Pasir Laut Kembali Dibuka, Sejarah Kelam Masa Lalu Bakal Terulang?
Lebih lanjut politisi NasDem itu mengatakan, khususnya di Komisi VI yang bermitra dengan Kementerian Perdagangan, meminta pemerintah mengkaji ulang dan duduk bersama dengan berbagai pihak untuk menyusun kembali PP tersebut.