Komisi VII DPR Minta Pemerintah Jangan Sampai Diatur IMF Soal Kebijakan Larangan Ekspor Nikel
Program hilirisasi nikel memang tidak memuaskan tetapi solusinya bukan dengan membuka ekspor kembali.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR-RI) Rofik Hananto menilai rekomendasi yang dikeluarkan lembaga Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) untuk menghentikan pembatasan ekspor nikel Indonesia sebagai hal yang tidak tepat dan tidak solutif.
Diketahui, pada 25 Juni 2023 lalu IMF mengeluarkan dokumen ‘IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia’ (IMF Country Report No. 23/221).
Dalam laporan tersebut diberikan catatan terkait program hilirisasi nikel di Indonesia.
Baca juga: IMF Minta RI Buka Lagi Keran Ekspor Nikel, Begini Respons Sri Mulyani
Catatan-catatan tersebut antara lain potensi pendapatan negara yang hilang dari nilai ekspor, keraguan terhadap keberhasilan upaya hilirisasi nikel, hingga rekomendasi untuk menghentikan kebijakan tersebut secara bertahap dan tidak merambat ke sumber daya lainnya.
Menanggapi hal tersebut, Rofik mengatakan rekomendasi yang diberikan IMF sebagai rekomendasi yang tidak tepat dan solutif.
"Program hilirisasi nikel kita memang tidak memuaskan tetapi solusinya bukan dengan membuka ekspor kembali," ujar Rofik dalam pernyataannya yang diperoleh, Rabu (5/7/2023).
Ia melanjutkan, pelarangan ekspor merupakan syarat awal proses hilirisasi untuk memastikan proses nilai tambah berjalan di dalam negeri.
“Kalau ekspor bijih nikel dibuka kembali, tidak ada mekanisme yang dapat menjamin pasokan bijih nikel untuk smelter dalam negeri," papar Rofik.
"Hal ini akan memberikan sinyal yang lemah terhadap pemangku kepentingan industri akan arah dan visi hilirisasi yang kita cita-citakan, pemerintah jangan mau diatur IMF” sambungnya.
Ia pun mengatakan, sebaiknya rekomendasi IMF ini dijadikan titik tolak untuk melakukan evaluasi serius serta menyeluruh untuk meningkatkan tata kelola program hilirisasi.
Pasalnya, Rofik menekankan kebijakan hilirisasi nikel ini harus untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat juga, sehingga program ini perlu dilaksanakan dengan baik.
Menteri Investasi Angkat Suara
Sebelumnya, Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ( BKPM ) Bahlil Lahadalia meminta, Dana Moneter Internasional (IMF) tak perlu mengurusi kebijakan hilirisasi yang diberlakukan di Indonesia.
Hal tersebut merespons permintaan IMF untuk mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap pembatasan ekspor nikel dan tidak memperluas pembatasan ke komoditas lainnya.
"Dia (IMF) enggak usah campur-campur urus Indonesia, dia ( IMF ) akui pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah baik, Neraca dagang sudah baik," kata Bahlil Lahadalia dalam Konferensi Pers di Kantor BKPM akhir pekan kemarin, (30/7/2023).
Bahlil menegaskan, kebijakan pemerintah menyoal larangan ekspor nikel itu sudah dijalan yang benar.
"Ada apa dibalik itu (permintaan IMF). Menurut saya yang dilakukan pemerintah sekarang sudah dijalan yang benar," ucap dia.
Dikatakan Bahlil Lahadalia, dibalik dukungan IMF soal hilirisasi untuk mendorong transformasi struktural dan penciptaan nilai tambah serta lapangan kerja, IMF ternyata menentang kebijakan larangan ekspor.
"IMF menentang kebijakan larangan ekspor, menurut analisa untung ruginya yang dilakukan oleh IMF adalah menimbulkan kerugian penerimaan negara dan kedua berdampak negatif terhadap negara hukum," papar Bahlil Lahadalia.
Bahlil Lahadalia mengaku, pemerintah patut menyatakan sikap terhadap pandangan IMF. Pasalnya hal itu tak sesuai dengan tujuan negara Indonesia.
"Kami hargai mereka, pandangan mereka. Tapi kami enggak boleh terhadap pandangan mereka saat ada satu pemikiran mereka, menurut pandangan kita enggak obyektif dan enggak tau arah tujuan negara kita," ujar Bahlil Lahadalia.
"Yang tahu tujuan negara yakni pemerintah Indonesia dan kita sendiri. Ini malah saya melihat ada ketakutan kelompok tertentu ketika Indonesia sudah di jalan yang benar, ada apa maksudnya ini," lanjutnya.
Bahlil Lahadalia menyatakan, Dana Moneter Internasional (IMF) memiliki kekeliruan besar menyoal permintaan larangan ekspor nikel agar dicabut.
Menurut Bahlil Lahadalia, pemikiran IMF tersebut diluar nalar akal sehat. Kata dia, kebijakan hilirisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia justru menciptakan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia.
Bahlil berujar, nilai ekspor nikel pada tahun 2017 sampai 2018 lalu sebesar 3,3 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Sedangkan setelah timbul larangan ekspor nikel dan melakukan hilirisasi nilainya mencapai hampir 30 miliar dolar AS atau naik 10 kali lipat.
"Dengan hasil hilirisasi ini, surplus neraca perdagangan kita sudah sampai dengan 25 bulan sekarang. Dan neraca perdagangan kita juga mengalami perbaikan bahkan terjadi surplus ini akibat hilirisasi," pungkasnya.