Ombudsman RI: Ketahanan Energi Hal Utama dalam Gerakkan Pelayanan Publik dan Pertumbuhan Ekonomi
Cadangan sumber daya energi fosil terbatas, maka perlu adanya kegiatan diversifikasi sumber daya energi agar ketersediaan energi terjamin.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA - Energi merupakan komoditas strategis dan menjadi kepentingan semua negara di dunia.
Peranan energi sangat penting bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional sehingga pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan penyelenggara usaha harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, optimal, dan terpadu.
Sehingga Ketersediaan energi yang mencukupi menjadi hal utama dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi sehingga kepastian jaminan pasokan energi menjadi fokus dalam kebijakan energi suatu negara.
Baca juga: Percepatan Ekosistem EV dan Program Biofuel Jaga Ketahanan Energi, Ini Penjelasan Erick Thohir
“Oleh karena itu, cadangan sumber daya energi fosil terbatas, maka perlu adanya kegiatan diversifikasi sumber daya energi agar ketersediaan energi terjamin. Selaras dengan komitmen Paris Agreement dimana 2030 ditargetkan terjadi penurunan CO2 sebesar 29 persen, maka Indonesia harus segera melakukan transisi energi ke energi baru terbarukan. Dengan dukungan tren global, diharapkan pengembangan energi baru terbarukan akan semakin murah dari sisi teknologi dan keekonomian dan tentunya juga mendukung pelayanan publik,” terang Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto.
Hal itu disampaikan Hery saat menjadi Keynote Speaker dalam kegiatan diskusi publik “Perspektif Pelayanan Publik dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Migas yang Mendukung Pembangunan Berkelanjutan dan Kesejahteraan Rakyat” secara hybrid yang digagas oleh Masyarakat Petani Organik Indonesia (Maporina) Propinsi Kalimantan Timur pada Kamis (06/07/2023) di Hotel Grand Sawit Kota Samarinda Propinsi Kalimantan Timur.
Hery menambahkan bahwa pada konsep kepemilikikan sumber daya alam energi baru terbarukan yang dituangkan pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu kedaulatan, kemandirian, ketahanan energi nasional yang dikuasai oleh negara dan berhubungan dengan hajat orang banyak sehingga dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Tafsir kalimat dikuasai negara menurut pendapat Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi haruslah diartikan mencangkup makna penguasaan oleh negara dalam pengertian luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud,” jelas Hery.
Dari penjelasan tersbut Hery menjelaskan bahwa terdapat empat fungsi dari tafsir dikuasai negara yaitu pertama Fungsi Pengaturan oleh negara (regelensdaad) yang dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR RI bersama pemerintah dan regulasi oleh pemerintah.
Kedua, Fungsi Pengelolaan oleh negara (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan pemerintah yang mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ketiga, Fungsi Pengawasan (toezichthoudens-daad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Keempat, Fungsi Pengurusan oleh negara (bestuursdaad) dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie) dan konsesi (consesie).
Hery juga menambahkan urgensi dari revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yaitu pada dasarnya persoalan perlu atau tidaknya perubahan drastis atas peraturan dan kelembagaan minyak dan gas.
Faktor cadangan minyak dan gas yang menipis dan produksi yang menurun membuat upaya untuk menyelesaikan polemik ini terasa semakin penting dan mendesak. Pertanyaan pokok yang kemudian muncul adalah bagaimana negara harus memaknai dan menjalankan peranannya dalam tata kelola industri minyak dan gas.
“Berangkat dari azas kemanfaatan dan kemakmuran bersama rakyat Indonesia, apakah memang diperlukan perangkat regulasi guna meletakkan dasar-dasar baru pengelolaan minyak dan gas? Ini termasuk ketentuan kerja sama dan eksplorasi bagi pemodal asing serta penguatan peran BUMN dalam pengelolaan industri padat modal dan teknologi ini,” tambah Hery.
Berdasarkan hal tersebut Hery menyampaikan bahwa saat ini merupakan era baru dalam tata kelola minyak dan gas nasional. Masa “easy oil and gas” telah berlalu di Indonesia dan secara realistis harus dapat melihat bahwa cadangan dalam negeri mulai menipis dan negara membutuhkan sumber baru untuk memutarkan roda ekonomi.
Tata kelola mata rantai distribusi minyak dan gas harus ada keterlibatan, peran dan pengaruh pemerintah, instansi serta masyarakat di daerah produksi.
Undang-Undang Otonomi Daerah mengalokasikan bagi hasil yang terkadang jumlahnya tidak sedikit. Namun pengelolaan ini harus dapat dikoordinasikan dengan baik oleh instansi yang wewenangnya harus disepakati bersama oleh seluruh pemangku kepentingan.
Pendapatan industri minyak dan gas sepatutnya dapat diinvestasikan kembali ke industri migas untuk mencari cadangan baru, untuk membiayai penerapan teknologi enhanced oil recovery (EOR) guna menggenjot produksi dari sumber minyak dan gas yang alat produksinya sudah berusia tua, untuk membiayai infrastruktur distribusi minyak dan gas, serta membiayai optimalisasi pengelolaan mata rantai dari hulu sampai hilir.
Tata kelola kelembagaan industri minyak dan gas nasional juga perlu mendapat perhatian untuk menjaga kesinambungan mata rantai dari hulu sampai hilir.
“Model kelola hulu misalnya, harus membedakan tiga fungsi negara yakni penentu kebijakan, pengaturan dan pengawasan, serta fungsi bisnis. Ketiga fungsi ini dapat dilakukan oleh tiga instansi yang berbeda seperti sekarang atau dua instansi mengingat fungsi kebijakan tetap harus dijalankan oleh pemerintah. Pemerintah bersama semua pemangku kepentingan wajib menyediakan sisa cadangan minyak dan gas sebagai sumber energi untuk kebutuhan nasional, mengelolanya secara berkelanjutan dan ramah lingkungan, memberlakukan harga yang terjangkau bagi industri dan masyarakat banyak, serta meningkatkan partisipasi masyarakat agar bermanfaat dalam mengurangi kemiskinan sesuai dengan amanat Sustainable Development Goals,” jelas Hery.
Terkait hal tersebut Hery berharap bahwa Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi harus menjadi salah satu penopang dan mendorong peningkatan pendapatan negara.
Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas harus menjadi salah satu penopang pendapatan negara yang pada prinsipnya harus menjadi salah satu pendorong untuk membangun kesadaran semua pihak.
Diharapkan Undang-Undang yang dilahirkan itu bisa mendorong peningkatan percepatan pendapatan negara. Pemerintah telah menargetkan lifting minyak bumi sebesar satu juta barel per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada tahun 2030.
Setidaknya, Pemerintah membutuhkan investasi di sektor hulu migas sebesar USD 160 Miliar dalam kurun waktu 10 tahun mendatang hingga 2030.
Sementara realisasi lifting minyak bumi pada tahun 2022 berada di bawah target yaitu sebesar 612 ribu BOPD atau sebesar 87 persen dibanding target yang ditetapkan. Realisasi migas bumi tahun 2022 juga berada di bawah target yaitu sebesar 940 ribu BOEPD atau 90,68 persen dibanding target yang ditetapkan.
Kemudian daya tarik investasi minyak dan gas di Indonesia saat ini mengalami trend penurunan. Internal Rate of Return (IRR) sektor minyak dan gas di Indonesia masih jauh berada di bawah IRR global yaitu sebesar 10,4%.
“Saat ini, tata kelola migas di Indonesia sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Untuk itu, dibutuhkan upaya kuat dalam meningkatkan iklim investasi migas di Indonesia melalui penyempurnaan RUU Minyak dan Gas, saat ini masih dibahas di DPR RI dan sudah terlalu lama berproses,” pungkas Hery.
Turut hadir dan mengikuti kegiatan Kepala Dinas Pangan Tanaman Pangan Dan Holtikultura Provinsi Kalimantan Timur, Siti Farisyah Yana, Penyelidik Bumi Muda Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur Hery Limbong, Vice President Sustainability PT Pertamina, Nanang Sahroni, Guru Besar Uiversitas Negeri Jakarta, Prof. Nadiroh, Asiten KU V Ombudsman RI, Aisyah Nur Isnaiti, Pemerhati Sumber Daya Alam & Lingkungan Hidup, Mukhtar Yusuf, serta Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina) wilayah Kalimantan Timur.