Menteri Bahlil Syaratkan Freeport Bangun Smelter Demi Kesejahteraan Rakyat Papua
Pembangunan smelter Freeport di Gresik, Jawa Timur baru mencapai 72 persen dengan menargetkan paling lambat rambung Mei 2024
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Editor: Erik S
Laporan Wartawan Tribunnews, Hasiolan Eko Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meminta PT Freeport Indonesia (PTFI) membangun smelter di Papua.
Hal itu menjadi satu di antara syarat perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dalam pengelolaan tambang emas dan tembaga di Grasberg, Papua.
Baca juga: Selain Freeport, Empat Perusahaan Tambang Ini Juga Dapat Relaksasi Ekspor Konsentrat
Langkah Menteri Bahlil mengajukan syarat tersebut kepada PTFI demi kesejahteraan masyarakat di Papua tersebut dinilai Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi sebagai syarat mutlak.
“Kalau memang harus diperpanjang yang jadi syarat mutlak, saya kira ya smelter itu karena selama ini smelter yang di Gresik saja belum jadi masih sekitar 70 persen,” ujar Fahmy dalam keterangannya kepada wartawan Sabtu (8/7/2023).
“Jadi kalau memenuhi syarat perpanjangan kontrak dengan membangun smelter yang memadai baik di Gresik maupun di Papua saya kira itu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Freeport,” imbuhnya.
Sebagai informasi saat ini, pembangunan smelter Freeport di Gresik, Jawa Timur baru mencapai 72 persen dengan menargetkan paling lambat rambung Mei 2024.
Fahmy menuturkan idealnya bahwa pembangunan smelter itu di Papua sebagaimana lokasi tambang yang dikelola oleh Freeport.
Baca juga: Smelter Freeport Harus Dibangun di Papua, Bahlil: Ini Harga Diri Orang Papua, Jangan Ditipu Terus
“Secara ideal memang harus seperti itu tetapi kenapa Freeport tidak membangun di Papua, malah membangun di Gresik itu menyangkut masalah ketersediaan infrastruktur. Jadi kalau dibangun di Gresik itu memang di kawasan industri dan infrastrukturnya sudah memadai,” ucapnya.
Oleh sebab itu, Fahmy mendorong agar Menteri Bahlil yang juga tokoh berasal dari Papua dapat membangun infrastruktur dasar dalam mendukung pembangunan smelter di bumi cendrawasih tersebut.
“Tapi kalau di Papua barangkali itu belum memadai (infrastruktur) sehingga perhitungannya akan lebih mahal tapi kalau itu memang dibutuhkan ya harus ada juga,” ujarnya.
Lanjut Fahmy mengatakan smelter Freeport di Papua harus hadir agar hilirisasi bahan mentah terjadi di Indonesia bukan langsung di ekspor ke luar negeri.
“Yang penting adalah smelter tadi itu memadai sehingga Freeport tidak lagi mengekspor konsentrat untuk dihilirkan di smelter luar negeri,” katanya.
Selain itu, Fahmy juga menyarankan syarat perpanjangan kontrak Freeport yakni penambahan profitability indeks (PI) dari 10 persen untuk Papua bisa ditambahkan menjadi 20 persen, tujuannya agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua secara signifikan.
“Sekarang itu kan profitable index 10 persen untuk pemerintah Papua, nah barangkali untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua tadi yang paling tepat adalah dengan meningkatkan PI tadi dari 10 persen menjadi 20 persen,” paparnya.
“Sehingga pembagian keuntungan untuk rakyat di Papua itu bisa signifikan. Kalau sekarang kan hanya 10 persen jadi itu upaya yang bisa dilakukan, secara bertahap meningkatkan tadi profitability indeksnya pemerintah Papua begitu,” lanjutnya.
Sebelumnya, Menteri Bahlil menyampaikan pemerintah mengajukan sejumlah persyaratan untuk perpanjangan kontraknya, salah satunya membangun smelter di Papua.
"Dengan perpanjangan, kita minta bahwa harus smelter itu ada di Papua. Kenapa? Karena itu menyangkut kedaulatan dan harga diri orang Papua juga," kata Bahli.
Baca juga: Jokowi Bercerita Sempat Ditakut-takuti Bakal Dilengserkan sebagai Presiden saat Ambil Alih Freeport
Bahlil menekankan, jangan sampai tanah Papua terus dimanfaatkan oleh perusahaan asing. Karena itulah, harapannya langkah hilirisasi ini akan mendatangkan manfaat ekonomi yang lebih besar kepada masyarakat Papua.
"Jangan kita ditipu-tipu terus gitu. Jangan menterinya sebelum ada orang Papua, sampai ada yang Menteri Papua, masih begitu lagi. Mana mau kita ditipu-tipu," ujarnya.
Namun demikian, Bahlil menyatakan lokasi pembangunan dari Smelter tersebut belum ditetapkan. Utamanya, smelter tersebut harus ada di tanah Papua. Hingga saat ini, proses studi kelayakan atau feasibility study masih terus dilakukan.
"Jadi tempatnya di mana, udahlah nanti kita lihat FS-nya, FS-nya kan belum. Boleh di Timika, boleh di mana saja. Boleh di Fakfak, boleh di mana, tapi belum kita putuskan sekarang," ungkapnya.
Selain syarat membangun smelter, demi perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) ini, Freeport juga harus melakukan penambahan divestasi saham sebanyak 10 persen dengan harga semurah mungkin ke pemerintah melalui induk holding BUMN tambang, MIND ID. Sementara secara keseluruhan, Bahlil melaporkan proses perpanjangan ini masih dalam tahap negosiasi akhir.
"Freeport masih di tahap negosiasi akhir," ucap Bahlil.