Pengamat: Pemerintah Perlu Segera Terbitkan Regulasi OTT untuk Sehatkan Industri Seluler
Polemik tentang regulasi terkait layanan Over The Top (OTT) masih terus berlangsung hingga akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Wahyu Aji
Belum lagi beban operator telekomunikasi yang saat ini sangat berat dengan regulatory charge yang besar yang diminta oleh negara. Mereka harus menanggung beban besar tetapi juga dituntut pemerintah untuk menyediakan infrastruktur terkini seperti 5G.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan saat ini perkembangan bisnis telekomunikasi terdestrupsi oleh perusahaan OTT yang membuat trafik voice dan SMS menurun.
“Perusahaan telekomunikasi hanya seperti penyedia pipa (dumb pipe) dengan capex dan apex yang besar. Sementara OTT berselancar di atas jaringan yang dibangun perusahaan telekomunikasi,” kata Heru Sutadi.
Hal tersebut yang membuat Heru berpendapat bahwa harus ada sumbangsih OTT untuk turut membantu operator telekomunikasi membangun infrastruktur digital.
Caranya bisa dengan pajak digital hingga penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.
Dia menambahkan, Indonesia bisa belajar dari negara lain yang telah menerapkan digital services tax.
Baca juga: Kemitraan dengan Operator Seluler Jadi Strategi Industri Video on Demand Perluas Pasar
“Indonesia bisa belajar dengan sejumlah negara yang telah menerapkan digital services tax (DTS) seperti Austria, Prancis, Hungaria, Italia, Polandia, Portugal, Spanyol, Turki dan Inggris, meskipun strukturalnya berbeda-beda,” sambung Heru.
Pengamat Telekomunikasi, Kamilov Sagala di forum yang sama mengatakan OTT menumpang layanan operator telekomunikasi bahkan bisa mengabaikan kedaulatan negara.
“Bahkan Presiden keluar negari untuk bertemu bos OTT, kalau di operator telekomunikasi cuma sekelas Menteri yang dating,” kata Kamilov.
Untuk itu, pemerintah harus segera membuat regulasi terkait OTT karena penting supaya OTT bisa turut mengambil beban universal service obligation (USO), lalu turut membayar biaya yang setara dengan biaya hak penyelenggara (BHP), turut membantu masyarakat yang dimarginalkan melalui CSR, hingga memperkuat kerjasama dengan operator.
“Bayangkan saja jika OTT mampu membantu membuat infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) maka masyarakat di sana juga bisa mengakses OTT dan pendapatannya juga semakin meningkat,” tandasnya.
Sebelumnya, anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade saat Rapat Kerja Komisi VI DPR RI bersama Menteri BUMN di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/6/2023) menyatakan perlunya Pemerintah segera mengatur bisnis OTT di Indonesia.
"Saya sudah beruang-ulang kembali bicara over the top karena kita tahu pemerintah ingin internet kita ini cepat, Telkom ditugaskan membangun infrastruktur besar-besaran supaya internet kita cepat, tapi yang menikmati Netflix dan Meta tanpa berkontribusi kepada negara dan tidak ada kerja sama," kata Andre Rosiade.