Bappebti Lelet Tangani Aduan Masyarakat, Ombudsman: Mencari Keadilan Ternyata Lama, Butuh 600 Hari!
Bappebti butuh waktu 600 hari atau hampir 2 tahun untuk memproses aduan masyarakat yang masuk.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Choirul Arifin
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menilai Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) terlalu lamban memproses setiap aduan masyarakat yang masuk ke lembaga tersebut, berdasarkan hasil monitoring yang mereka lakukan.
Yeka mengungkap, Bappebti butuh waktu 600 hari atau hampir 2 tahun untuk memproses aduan masyarakat yang masuk.
"Ini laporan masyarakat yang melapor ini rata-rata sudah ditangani hampir 600 hari," kata Yeka dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Selatan, Jumat (26/1/2024).
"Jadi, ada yang 400 mendekati 500 hari, ada yang hampir 600 hari, 300 hari. Penanganannya lama," lanjutnya.
Ia mengatakan, hari ini untuk mencari keadilan di Republik Indonesia terkait dengan perdagangan berjangka komoditi ini, ternyata lama.
Menurut dia, seharusnya Bappebti bisa lebih cepat lagi dalam memproses aduan dari masyarakat. Terlebih, ada kerugian materiel di sini.
Ombudsman mencatat, 25 laporan mengenai dugaan tindak pidana kegiatan perdagangan berjangka komoditi yang pihaknya terima dan tindaklanjuti, menimbulkan kerugian materiel hingga Rp 68,5 miliar.
Yeka memandang, di balik kerugian materiel ini bisa saja ada peristiwa lain yang terjadi.
Baca juga: Ombudsman RI Endus Tindak Pidana Perdagangan Berjanga Komoditi, Nilai Kerugian Rp 68,5 Miliar
"Di balik kerugian materiel ini ada perisitwa shock mengakibatkan orang tuanya akhirnya meninggal dunia. Di balik kerugian materiel ini ada perceraian karena sang suami tidak melaporkan menggunakan uang istri atau tabungan keluarganya, sehingga anaknya tidak bisa sekolah," ujar Yeka.
"Di balik kerugian ini ada masyarakat yang malu, merasa dibodoohi padahal dia adalah orang pintar, tapi terbujuk (terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi ini)," lanjutnya.
Baca juga: KPPU Endus Praktik Kartel Suku Bunga Pinjol di Perusahaan Fintech Anggota AFPI
Jadi, kata Yeka, di balik kerugian materiel ini ada kerugian imateriel yang sebetulnya menggugah hati dan perasaan.
"Kalau hati kita tertutup, maka saya mempertanyakan apakah memang kita masih bisa memberikan keadilan di sini?" kata Yeka.
Sebagai informasi, dalam kesempatan sama, Yeka turut mengungkap bahwa sepanjang 2021-2024, Ombudsman RI telah menerima 29 laporan aduan masyarakat terkait dengan dugaan tindak pidana kegaitan perdagangan berjangka komoditi.
Rinciannya, ada 18 laporan yang dalam tahap pemeriksaan, 3 laporan dalam tahap monitoring, 3 laporan ditutup, 1 laporan dalam tahap verifikasi formil, dan 4 laporan tidak memenuhi syarat formil.
Dari 63 pialang berjangka yang ada di Indonesia, ada tujuh yang dilaporkan ke Ombudsman.
"Nah, jadi sebetulnya Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) fokus saja di tujuh ini," kata Yeka.
Dalam data yang ia paparkan, ada dua pialang berjangka yang paling banyak dilaporkan, yaitu PT BPF dan PT RBP dengan masing-masing delapan laporan.
Baca juga: Ombudsman: Masyarakat Sekitar Belum Terima Manfaat dari Pengolahan Tambang Blok Mandiodo
Kemudian, ada PT MAF dengan enam laporan. Lalu, masing-masing mendapat satu laporan, yakni PT GKIB, PT ES, PT MIF, dan PT SAM.
Ombudsman turut mencatat jumlah kerugian materiil yang didapat dari 25 laporan yang diperiksa Ombudsman, mencapai Rp 68,5 miliar.
"Yang tidak melapor, wallahuallam. Kita tidak tahu. Saya juga tidak mau memprediksi apakah ini fenomena gunung es atau bukan," ujar Yeka.
"Jadi, Rp 68,5 miliar silakan dibagi rata saja ke 25 orang, kira-kira per orang kerugiannya berapa," lanjutnya.