Siap-siap Harga Tiket Pesawat Makin Mahal, DPR Ingatkan Pemerintah Berhenti Bebani Masyarakat
Iuran pariwisata dimasukkan ke harga tiket pesawat berpotensi melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi V DPR RI Sigit Sosiantomo menilai rencana pemerintah mengenakan iuran pariwisata kepada penumpang pesawat berpotensi melanggar Undang-undang.
Sigit menolak rencana pemerintah tersebut. Selain berpotensi melanggar Undang-undang, juga akan membebani penumpang lantaran tiket pesawat akan semakin melambung.
“Saya menolak rencana pemerintah menarik iuran pariwisata kepada penumpang pesawat," ujar Sigit saat dikonfirmasi, Selasa (23/4).
Menurut Sigit, iuran pariwisata berpotensi melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pasal 126 UU Penerbangan, penetapan tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tuslah/tambahan (surcharge).
Baca juga: Harga Tiket Pesawat Melonjak di Periode Mudik Lebaran, Budi Karya: Tarif Batas Atas Belum Terlampaui
Yang dimaksud biaya tuslah/tambahan (surcharge) dalam UU ini adalah biaya yang dikenakan karena terdapat biaya-biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan angkutan udara di luar perhitungan penetapan tarif jarak antara lain biaya fluktuasi harga bahan bakar (fuel surcharge) dan biaya yang ditanggung oleh perusahaan angkutan udara karena pada saat berangkat atau pulang penerbangan tanpa penumpang, misalnya pada saat hari raya.
"Dalam UU Penerbangan sudah jelas bahwa penetapan tarif tiket pesawat terdiri dari empat komponen yaitu tarif jarak, pajak, asuransi dan tuslah," terang Sigit.
Sigit menambahkan, iuran pariwisata yang akan diterapkan pemerintah itu jelas tidak termasuk pajak yang bisa dibebankan kepada penumpang dalam tarif tiketnya.
"Pajak dan Iuran itu maknanya sudah berbeda jauh. Dan didalam UU penerbangan sendiri tidak ada terminologi iuran pariwisata. Pemerintah jangan konyol karena ini jelas berpotensi melanggar UU," kata Sigit.
Di sisi lain, Sigit mengingatkan bahwa penetapan tarif tiket pesawat juga harus memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat sebagaimana diatur UU Penerbangan. Dan seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa inflasi tahunan pada tahun 2023 yang tergolong rendah disebabkan penurunan komponen inflasi inti yang menunjukan adanya pelemahan daya beli masyarakat.
Selain empat komponen penentu tadi, penetapan tarif pesawat juga harus memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat, sesuai dalam penjelasan pasal 126 ayat (3) UU penerbangan. Dari data BPS tentang inflasi tahun lalu, dapat disimpulkan bahwa daya beli masyarakat sedang tidak baik-baik saja.
"Di sisi lain, setiap penumpang pesawat sudah dikenakan passenger service charge (PSC) kalau dipaksa lagi mau menarik iuran pariwisata, itu sama saja penumpang dikenakan tambahan biaya double. Dan tidak semua penumpang naik pesawat untuk keperluan wisata," ujar Sigit.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Sigit menegaskan bahwa penarikan iuran pariwisata itu tidak layak untuk diterapkan dan meminta pemerintah membatalkan rencana tersebut.
Tugas pemerintah, lanjut dia, adalah bagaimana memberikan kemudahan dan tarif transportasi yang terjangkau untuk rakyatnya. Bukan malah membebani dengan mengeluarkan Perpres yang notabene berpotensi melanggar UU demi menarik iuran dari masyarakat.
"Dengan Tarif pesawat yang sekarang saja rakyat sudah banyak yang mengeluh, apalagi nanti kalau ditambah komponen iuran pariwisata. Jadi, sekali lagi saya tegaskan menolak rencana ini. Stop membebani masyarakat,” kata Sigit.