Riuh Gaji Pekerja Dipotong untuk Tapera, Pengusaha Properti Sambut Positif Tapi Harus Transparan
Masalah transparansi pengelolaan juga harus menjadi perhatian pemerintah ke depan jika iuran Tapera ini tetap akan dijalankan.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Realestat Indonesia (REI) buka suara soal ramainya pro-kontra terkait iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebesar 3 persen yang akan diberlakukan untuk semua pekerja, termasuk karyawan swasta dan pekerja mandiri.
Ketua Umum DPP REI sekaligus President FIABCI Indonesia, Joko Suranto, menilai pemerintah pasti sudah memikirkan kebijakan ini secara matang.
“Adanya program untuk pembiayaan perumahan ini tentu saja kami pandang positif terhadap industri perumahan, karena pemerintah pasti memiliki studi kajian dan pertimbangan sendiri," kata Joko dalam keterangannya, Rabu (29/5/2024).
Meski demikian, ia mengatakan pemerintah juga perlu memerhatikan situasi ekonomi dan daya beli masyarakat yang sedang tidak baik-baik saja.
Baca juga: Apa itu Tapera? Bikin Gaji Karyawan Dipotong 2,5 Persen Per Bulan, Ini Aturannya
Dia bilang, aspirasi sekaligus keberatan para pekerja dan pemberi kerja perlu didengar.
Di sisi lain, Joko menyoroti masalah transparansi pengelolaan juga harus menjadi perhatian pemerintah ke depan jika iuran Tapera ini tetap akan dijalankan.
Transparansi pengelolaan dan manajemen risiko mutlak dibutuhkan karena dana yang dikelola tersebut adalah milik masyarakat.
Joko memandang, penolakan besar yang terjadi saat ini tak hanya disebabkan oleh ekonomi masyarakat yang belum pulih pasca-pandemi.
Namun, juga disebabkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem pengelolaan dana tabungan atau asuransi.
Hal itu seiring banyaknya kasus hukum yang melibatkan badan pengelola dana masyarakat.
"Sebagai solusi, kami mengusulkan dan mendorong pemerintah agar menerapkan penyatuan iuran jaminan sosial masyarakat seperti halnya CPF di Singapura," ujar Joko.
Singapura melalui lembaga CPF atau Central Provident Fund (CPF) disebut tidak hanya mengelola dana penyediaan perumahan saja.
Namun, menyatu dalam satu akun dengan jaminan sosial lain seperti dana pensiun, fasilitas kesehatan, pendidikan anak, dan asuransi jiwa bagi pekerja.
CPF bersifat wajib bagi setiap warga negara Singapura dan dikelola oleh pemerintah.
Skema iurannya didukung bersama-sama oleh pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah.
Jadi, cukup satu akun untuk semua fasilitas jaminan sosial dan iurannya tidak terpisah-pisah.
Berkaca pada CPF, Joko memandang CPF ini bisa menjadi inspirasi atau role model bagi Indonesia.
Sebab, pengelolaan dana perumahan, dana pensiun, kesehatan, pendidikan dan asuransi jiwa pekerja hanya dilakukan oleh satu badan/lembaga di bawah pegawasan kementerian khusus.
"Pola tersebut akan menjamin pengelolaan yang efektif, sehingga akuntabilitasnya lebih terukur,” tutur Joko.
Lewat sistem jaminan sosial terintegrasi seperti CPF, Joko menyebutkan semua kebutuhan rakyat akan terjamin dan tertangani dengan baik.
Kebutuhan rakyat terjamin dari sejak lahir, sekolah, bekerja, pensiun, sampai meninggal dunia.
Selain itu, pembayaran iuran yang hanya satu kali meminimalisir tumpang tindih (overlapping) iuran yang dinilai akan membantu meringankan beban masyarakat.
“Masyarakat jadi lebih happy dan daya beli mereka tidak menurun,” pungkas Joko.
Riuh Soal Tapera
Diketahui, kisruh tersebut bermula ketika Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan ditetapkan pada 20 Mei 2024.
PP tersebut menyebutkan bahwa simpanan peserta tapera akan berasal dari pekerja yang menerima gaji, seperti pegawai negeri, BUMN, dan swasta. Selain itu, pekerja mandiri.
Dalam PP tersebut, besaran simpanan dana Tapera yang ditarik setiap bulannya yakni 3 persen dari gaji atau upah pekerja.
Setoran dana Tapera tersebut ditanggung bersama oleh pemberi kerja, yakni sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.
Sementara untuk pekerja mandiri atau freelancer ditanggung sendiri oleh pekerja mandiri.
Masyarakat pun geram dengan peraturan ini. Kekesalan itu tampak di media sosial X (dahulu Twitter), di mana banyak warganet yang ramai mengkritik kebijakan tersebut.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.