Komoditas Bawang Merah dan Ayam Ras Sumbang Deflasi RI
BPS mencatat perekonomian Republik Indonesia mengalami deflasi (penurunan harga komoditas tertentu) selama dua bulan berturut-turut.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Hendra Gunawan
Harga komoditas tersebut berfluktuasi akibat pengaruh sisi penawaran.
Tingginya tingkat permintaan membut harganya menjadi turun.
Semisal, beras yang tidak lagi dominan menyumbang andil inflasi karena produksinya meningkat sepanjang panen raya padi pada April-Mei 2024.
”Libur Idul Adha yang membuat terjadi kenaikan harga acuan sejumlah pangan pokok tetapi deflasi bulanan tetap terjadi karena penawaran atau stok komoditas pangan mencukupi di tengah peningkatan permintaan komoditas itu,” ungkapnya.
Kata Habibullah, pada Juni 2024 panen padi terjadi di sejumlah daerah.
“Sehingga deflasi itu bukan karena pelemahan daya beli masyarakat,” sambung dia.
Penurunan daya beli masyarakat tersebut tetap perlu dikaji lebih lanjut dengan sejumlah indikator seperti pertumbuhan mobilitas masyarakat saat libur tahun ajaran baru pada Juni-Juli 2024.
Habibullah menilai pergerakan masyarakat pada libur sekolah akan diukur menggunakan inflasi tahunan.
”Bicara daya beli faktor musiman sudah dieliminasi dari penghitungan inflasi,” katanya.
Dorong Investasi Pertanian
Pengamat Pasar Uang Ibrahim Assuaibi menilai tingkat inflasi Juni 2024 sebesar 2,51 persen secara tahunan masih lebih rendah dibanding Mei 2024 mencapai 2,84 persen YoY.
“Nilai ini lebih rendah dibandingkan posisi April sebesar 3 persen di mana saat itu terjadi deflasi 0,03 persen pada Mei 2024 secara bulanan,” ungkapnya.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo juga mengapresiasi kinerja dan sinergitas antara Bank Indonesia bersama Pemerintah Pusat dan Daerah di dalam Tim Pengendalian Inflasi di Tingkat Pusat dan Daerah (TPIP/TPID) untuk mengendalikan inflasi.
Sehingga inflasi terkendali pada sasaran 2,5 + 1 persen sesuai target yang ditetapkan di tahun 2024.
Namun, Presiden mengingatkan untuk tetap waspada dan berhati-hati dengan memonitor secara langsung pergerakan harga pangan di lapangan mengingat adanya risiko dampak perubahan iklim global yang berpotensi mengganggu produksi pangan nasional dan dapat merembet kepada kenaikan inflasi.
Sedangkan, untuk memperkuat pengendalian inflasi ke depan.
Pemerintah harus memperkuat produksi pangan melalui optimalisasi pemanfaatan infrastruktur pengairan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, mengakselerasi penerapan teknologi berbasis riset dalam mendukung digitalisasi pertanian (smart agriculture).
“Kemudian mendorong investasi untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian, memutakhirkan sistem dan infrastruktur logistik yang terintegrasi guna mendukung kelancaran distribusi dan efisiensi rantai pasok antardaerah,” lanjut Ibrahim.
Serta memperkuat sinergi dan koordinasi antarlembaga, di tingkat pusat dan daerah, guna mendukung upaya pengendalian inflasi.