Dibanding Pengenaan Cukai, Kemenperin Lebih Setuju Penggunaan SNI untuk Makanan Siap Saji
Kemenperin lebih setuju menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mengatur pangan olahan tertentu termasuk makanan siap saji.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Hendra Gunawan
"Kalau mengeluhkan sih tidak, tetapi ada kekhawatiran. Ya biasalah perubahan-perubahan itu pasti ada kekhawatiran," tutur Putu.
Putu pun menjelaskan bahwa kekhawatiran yang dialami pelaku industri lebih pada pengaturan-pengaturan yang ada, kelak menutut para pengusaha harus melakukan penyesuaian.
Penyesuaian yang dimaksud, karena PP Kesehatan 28/2024 banyak mengatur soal komposisi makanan, maka harus ada perubahan dan penyesuaian untuk selera.
"Jadi itu semuanya ya biasalah. Ada suatu perubahan yang tidak kecil. Secara fundamental itu ada perubahan yang luar biasa itu ada kekhawatiran. Tapi mudah-mudahan ini jalannya bisa dilaksanakan dengan lancar dan smooth," ucap Putu.
Ia memastikan, kekhawatiran itu akan terus dikawal pihaknya. Putu menyebut pelaku industri harus tetap nyaman.
Di antara poin PP Kesehatan 28/2024 yang menjadi kekhawatiran industri adalah Bab II Bagian Kedua Puluh Satu Pengamanan Zat Adiktif, dari Pasal 429 sampai Pasal 463 PP 28/2024.
Bagian tersebut mengatur soal pengendalian zat adiktif produk yang mengandung tembakau atau tidak mengandung tembakau, baik rokok atau bentuk lain yang bersifat adiktif.
Contohnya seperti Pasal 434 ayat (1) yang berbunyi, setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik:
- Menggunakan mesin layan diri;
- Kepada setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun dan perempuan hamil;
- Secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik;
- Dengan menempatkan produk tembakau dan rokok elektronik pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui;
- Dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak; dan
- Menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.
Selain itu, poin PP 28/2024 yang dijadikan sorotan pelaku industri adalah soal pelarangan adanya iklan pada makanan olahan yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak.