Apindo Temui Menkes, Keberatan Atas Isi PP Kesehatan karena Rugikan Pengusaha
PP Kesehatan Nomor 28 Tahun 2024 tengah menjadi sorotan para pengusaha karena beberapa poin di dalamnya dianggap merugikan mereka.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Choirul Arifin
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) telah menemui Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin guna membahas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
PP Kesehatan Nomor 28 Tahun 2024 tengah menjadi sorotan para pengusaha karena beberapa poin di dalamnya dianggap merugikan mereka.
Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani mengungkap, usai pihaknya bertemu Budi, para pengusaha akan diberikan ruang untuk konsultasi lebih lanjut.
"Jadi dalam diskusi kami, menkes akan membuka ruang untuk konsultasi lebih lanjut," katanya ketika ditemui di kantor Apindo, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (23/8/2024).
Pihaknya memahami bahwa PP Kesehatan Nomor 28 Tahun 2024 dibuat karena berkaitan dengan aspek kesehatan seperti pelarangan iklan pada makanan olahan yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak (GGL).
Pemerintah menerapkan aturan tersebut demi memaksimalkan upaya pembatasan kandungan GGL di pangan olahan maupun siap saji.
Menurut Shinta, perlu ditinjau lebih jauh lagi apakah pelarangan tersebut benar akan memberi dampak yang diinginkan.
"Kami sekarang sedang menyiapkan hasil data-data karena kami melihat pada akhirnya kita mesti tunjukan gitu loh, sebenarnya apa sih pengaruhnya itu, apakah benar bisa membantu," ujarnya.
Dia bilang, Apindo mengapresiasi PP Kesehatan Nomor 28 Tahun 2024 karena bisa banyak hal positif yang timbul dari situ.
Namun, dampak lainnya yang menjadi kekhawatiran pelaku usaha juga harus diperhatikan karena akan mempengaruhi eksekusi di lapangan.
Baca juga: PP Kesehatan Perketat Regulasi Terkait Susu Formula Bayi, Berikut Isi Pasal 33 Nomor 28 Tahun 2024
Di antara poin PP Kesehatan Nomor 28 Tahun 2024 yang menjadi kekhawatiran industri adalah Bab II Bagian Kedua Puluh Satu Pengamanan Zat Adiktif, dari Pasal 429 sampai Pasal 463 PP 28/2024.
Bagian tersebut mengatur soal pengendalian zat adiktif produk yang mengandung tembakau atau tidak mengandung tembakau, baik rokok atau bentuk lain yang bersifat adiktif.
Contohnya seperti Pasal 434 ayat (1) yang berbunyi, setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik yang menggunakan mesin layan diri, menjual tembakau dan rokok elektrik kepada setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun dan perempuan hamil;
Kemudian, menjual tembakau dan rokok elektrik secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik;
Lalu menjual tembakau dan rokok elektrik dengan menempatkan produk tembakau dan rokok elektronik pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui;
Berikutnya, menjual tembakau dan rokok elektrik alam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak;
Serta menjual tembakau dan rokok elektrik menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.
Selain itu, poin PP 28/2024 yang dijadikan sorotan pelaku industri adalah soal pelarangan adanya iklan pada makanan olahan yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak.
Aturan ini demi memaksimalkan upaya pemerintah terkait pembatasan kandungan gula, garam, dan lemak di pangan olahan maupun siap saji.
Selain iklan, pemerintah juga melarang adanya promosi dan sponsor dari pangan olahan dalam suatu acara ketika memiliki kandungan gula, garam, dan lemak melebihi batas.
"Menetapkan ketentuan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor pada pangan olahan termasuk olahan siap saji," demikian bunyi Pasal 200 huruf b di PP Kesehatan tersebut.
Lewat aturan itu pula, setiap orang atau pelaku usaha yang memproduksi, mengimpor, hingga mengedarkan pangan olahan wajib mencantumkan label kandungan di dalamnya.
Apabila melanggar, maka para pelaku usaha bakal diberi sanksi berupa peringatan tertulis, denda administrasi, hingga yang paling berat yaitu pencabutan izin produksi.