Anak Buah Bahlil Ungkap Sejumlah Tantangan Terbesar Menggapai Net Zero Emission
Tidak ada tambahan pembangkit listrik batu bara setelah tahun 2030, kecuali yang sedang dalam tahap konstruksi
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, terdapat dua tantangan terbesar dalam merealisasikan Net Zero Emission (NZE) di sektor ketenagalistrikan.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi mengatakan, tantangan pertama adalah bagaimana mengurangi emisi dari pembangkit listrik yang ada, baik melalui pengurangan maupun penghentian secara bertahap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batubara.
Adapun, pensiun dini PLTU memerlukan dana yang sangat besar.
Baca juga: Industri Sawit Diklaim Paling Siap Dukung NZE di 2050
"Tantangan kedua adalah bagaimana menghadirkan lebih banyak EBT untuk menggantikan bahan bakar fosil dan untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan yang diperkirakan sekitar 4 persen per tahun," imbuh Eniya dalam agenda Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Kamis (5/9/2024).
Dirinya melanjutkan, untuk mengatasi tantangan yang dimaksud, pemerintah telah menetapkan rencana untuk pengembangan 367 gigawatt (GW) pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) pada tahun 2060.
Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) akan menjadi 115 GW, pembangkit listrik terbesar.
Kemudian, diikuti oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebesar 46 GW, PLT Amonia sebesar 41 GW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu sebesar 37 GW.
Selain itu, tidak ada tambahan pembangkit listrik batu bara setelah tahun 2030, kecuali yang sedang dalam tahap konstruksi.
Eniya menjelaskan, dengan transformasi sistem energi yang didominasi oleh energi terbarukan, terutama tenaga surya dan angin, akan muncul tantangan dalam hal stabilitas jaringan.
Untuk mengelola berbagai energi terbarukan dalam jumlah besar di sektor listrik secara efektif, sumber teknologi yang menyediakan fleksibilitas perlu dipersiapkan.
Perencanaan ini, akan mencakup peninjauan kembali sistem pembangkit listrik hingga transmisi dan distribusi, termasuk penyimpanan energi (baik listrik maupun termal) dan berbagai tingkatan respons permintaan.
"Untuk itu, penyimpanan energi sangat penting untuk mendukung implementasi transisi energi. Penyimpanan energi dapat meningkatkan fleksibilitas sistem tenaga listrik dan memfasilitasi dekarbonisasi melalui energi terbarukan," papar Eniya.
"Ada banyak pilihan teknologi penyimpanan energi, seperti baterai, pump storage, dan hidrogen hijau," pungkasnya.