Babak Belur Industri Tembakau: Dihantam Lonjakan Tarif Cukai, Kini Oleh PP 28/2024
Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan pun bercerita bagaimana industri tembakau telah digempur oleh regulasi fiskal dari pemerintah.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri tembakau makin babak belur dengan berbagai regulasi yang ada.
Menurut Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), sebagai industri yang padat regulasi, industri tembakau dihantam oleh peraturan dari dua sisi.
Pertama dari regulasi fiskal dan yang kedua dari regulasi non-fiskal seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Baca juga: Berdayakan Petani Tembakau di Jember, Perusahaan Ini Gandeng UMKM
Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan pun bercerita bagaimana industri tembakau telah digempur oleh regulasi fiskal dari pemerintah.
"Kita ketahui bahwa sejak tahun 2019 pada saat tahun politik, tarif cukai tidak ada kenaikan, tapi tiba-tiba di tahun 2020 tarif cukai dinaikkan sebesar 23 persen dan harga jual ecerannya dinaikkan 35 persen," katanya dalam acara diskusi bertajuk "Wacana Kebijakan Kemasan Polos pada Produk Tembakau" di Jakarta Selatan, Senin (9/9/2024).
Pada tahun 2020 ketika pandemi mulai masuk, situasi saat itu industri tembakau masih cukup kuat dan mampu bertahan dengan situasi yang ada.
Tahun berikutnya, pada 2021, industri tembakau kembali dihantam dengan kenaikan cukai.
Tarif cukai dinaikkan 12,5 persen pada 2021 dan pada 2022 dinaikkan lagi sebesar 12 persen.
Pada tahun 2023 naik sebesar 10 persen dan sejak saat itu dilakukan tarif cukai multi-years, di mana pada 2024 tarif cukai juga dinaikkan dengan besaran sama.
Akibat dari peraturan fiskal yang sangat terasa dampaknya, Henry mengungkap harga rokok legal makin mahal, sehingga kemunculan rokok ilegal pun tak terhindarkan.
Baca juga: DPN APTI Sayangkan Sikap Pemerintah Buat Regulasi Produk Tembakau Hanya dari Satu Sisi Kepentingan
"Empat tahun kami dibebani oleh peraturan fiskal yang sangat tinggi, konsekuensinya adalah harga rokok legal makin tidak terjangkau, akhirnya muncul dengan rokok-rokok ilegal," ujar Henry.
Ia mengatakan rokok legal di golongan 1 dengan isi 16 batang, dijual dengan harga di atas Rp 30 ribu, sedangkan rokok ilegal isi 20 batang bisa dijual sebesar Rp 13 ribu.
Ia mengungkap bahwa berdasarkan kajian yang pihaknya lakukan, diduga peredaran rokok ilegal sudah di atas 20 persen.
"Beberapa kajian yang masih kita lakukan saat ini, diduga rokok ilegal perderan sudah di atas 20 persen. Tapi ini namanya rokok ilegal, data yang (tepat, red) tidak bisa dicari," ucap Henry.
Itu dari regulasi fiskal. Dari regulasi non fiskal, ia menyebut kehadiran PP 28/2024 menjadi kejutan bagi industri tembakau.
Dalam PP 28/2024, Pasal 429 sampai Pasal 463 secara spesifik mengatur soal pengamanan zat adiktif.
Henry pun menyoroti PP 28/2024 Pasal 431 yang salah satu poinnya menyebutkan, setiap orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan produk tembakau wajib mematuhi batas maksimal kadar nikotin dan tar.
"Lalu pada 2023, saat industri mulai turun, merasa kesulitan dengan tarif cukai yang eksesif, kita dikejutkan lagi oleh tindakan undang kesehatan dan tahun 2024 ini dikejutkan oleh PP28," jelas Henry.