Studi: Perubahan Iklim Hantui Dunia Penerbangan, Jadi Pemicu Turbulensi Pesawat
Mempelajari respons burung-burung pada ketinggian dapat membantu ahli meteorologi membuat model yang lebih baik untuk memprediksi turbulensi.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK – Dunia penerbangan global belakangan tengah dihadapi ancaman.
Terbaru Pesawat Singapore Airlines bernomor SQ321 rute London-Singapura dilaporkan mengalami turbulensi parah hingga satu orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka.
Insiden ini bukan kali pertama terjadi di tahun 2024. Sebelumnya pada awal Mei kemarin penerbangan Air Europa mengalami turbulensi hebat dalam perjalanan dari Madrid ke Montevideo, mengakibatkan sekitar 40 penumpang pesawat Boeing Co 787-9 Dreamliner luka-luka.
Seminggu kemudian, 12 orang terluka akibat guncangan hebat setelah pesawat Qatar Airways perjalanan dari Doha ke Dublin yang mereka tumpangi mengalami turbulensi.
Baca juga: Turbulensi, Penumpang Air Europa Sampai Terselip di Kabin Pesawat saat Penerbangan Madrid-Montevideo
Serangkaian keadaan darurat tersebut terjadi lantaran pesawat terbang mengalami benturan udara yang bergerak dengan kecepatan yang sangat berbeda.
Hal ini sontak menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan perubahan iklim dapat memicu peristiwa turbulensi menjadi lebih sering terjadi.
Pernyataan tersebut senada dengan klaim penelitian yang dilakukan para peneliti di Reading University, Inggris.
Dalam studi tersebut para peneliti menunjukkan fakta bahwa turbulensi bisa semakin parah akibat adanya krisis iklim.
Adapun sejak tahun 1979 hingga 2020, jurnal Advancing Earth and Space Sciences itu mengungkap kasus turbulensi parah telah meningkat sebanyak 55 persen karena dampak perubahan kecepatan angin di ketinggian.
"Proyeksi masa depan terbaru kami mengindikasikan dua kali lipat atau tiga kali lipat dari turbulensi parah di aliran jet dalam beberapa dekade mendatang, jika iklim terus berubah seperti yang kita perkirakan," kata Profesor Paul Williams, salah satu analis studi, mengutip BBC International.
Turbulensi sendiri tidak dapat dilihat dengan mata telanjang dan tidak dapat dideteksi oleh sensor di dalam pesawat.
Bahkan satelit tidak dapat melihat turbulensi semacam ini, hanya struktur dan bentuk aliran jet yang dapat mengisyaratkan keberadaannya.
Oleh karenanya Pilot sering kali harus bergantung pada pesawat yang terbang di jalur yang sama di depan mereka untuk melaporkan turbulensi udara jernih, sehingga mereka dapat menyesuaikan jalurnya.