Lulusan SMA Mendominasi Bursa Kerja, Apindo: Pemerintah Jokowi Lamban Mereformasi
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menekankan perlunya reformasi struktural di pasar tenaga kerja nasional saat ini.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Choirul Arifin
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menekankan perlunya reformasi struktural di pasar tenaga kerja nasional saat ini.
Ketua Umum APINDO Shinta Kamdani mengatakan, Presiden Jokowi sudah memiliki arah kebijakan reformasi ketenagakerjaan yang tepat tapi pelaksanaannya berjalan sangat lamban dan inkonsisten.
"Sehingga, iklim ketenagakerjaan yang kondusif untuk menciptakan decent work dalam jumlah banyak seperti yang kita butuhkan saat ini belum terjadi," kata Shinta kepada Tribunnews, Senin (16/9/2024).
Dari sisi pekerja, Shinta menekankan perlunya percepatan transformasi keterampilan.
Ia menyebut struktur pekerja di Indonesia masih didominasi oleh lulusan SMA ke bawah, padahal kebutuhan tenaga kerja saat ini sudah berbeda. "Pendidikan vokasi memang membantu, tetapi struktur pekerja masih didominasi oleh lulusan SMA ke bawah," tutur Shinta.
Diperlukan struktur pekerja yang lebih sesuai agar kemampuan mereka dapat lebih mudah ditingkatkan dan selaras dengan kebutuhan pasar tenaga kerja saat ini.
Kebutuhan tenaga kerja saat ini tidak terlepas dari tuntutan tren ekonomi pasca-pandemi, di mana adopsi teknologi menyebabkan industri makin padat modal dan membutuhkan lebih banyak pekerja semi-skilled serta skilled workers.
"Kalau transformasi skills pekerja masih selambat 10 tahun terakhir, penyerapan tenaga kerja di sektor formal akan tetap lambat & industrialisasi juga terus mandek karena industrialisasi sangat butuh skilled workers," ucap Shinta.
Saat ini, jumlah pekerja formal di Indonesia lebih sedikit dibanding pekerja informal.
Pada Februari 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor informal mencapai 84,13 juta orang atau setara 59,17 persen. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan Februari 2023 yang sebesar 60,12 persen.
Baca juga: CELIOS: Pertumbuhan Ekonomi RI Era Jokowi Tak Berkualitas, Ini Penjelasannya
Kategori pekerja informal mencakup mereka yang bekerja dengan status berusaha sendiri, dibantu oleh buruh tidak tetap/pekerja keluarga/tidak dibayar, pekerja bebas, dan pekerja keluarga/tidak dibayar.
Sementara itu, penduduk yang bekerja di sektor formal tercatat berjumlah 58,05 juta orang atau 40,83 persen dari total penduduk bekerja.
Dibandingkan Februari 2023, persentase penduduk yang bekerja di sektor formal meningkat sebesar 0,95 persen poin. Tingginya dominasi pekerja informal di angkatan kerja Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik.
Baca juga: Pekerja Informal Mendominasi Serapan Kerja dengan Upah Rendah, Tanda EkonomI RI Tak Berkualias
Dihubungi terpisah, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad memandang, meskipun sektor informal berperan dalam mengurangi angka pengangguran di Indonesia, kondisi tersebut tidak dianggap ideal.
Dia menyebut pekerja di sektor informal mendapatkan upah yang lebih rendah dibanding pekerja di sektor formal. Apabila upah yang diterima lebih rendah, tingkat konsumsi si pekerja akan mengalami penurunan.
"Enggak baik karena upahnya lebih rendah. Status bekerja tidak menganggur, tetapi upahnya enggak begitu bagus, sehingga konsumsinya turun," kata Tauhid.
Ia berpendapat bahwa sektor formal lebih baik dibandingkan sektor informal karena pekerjanya menerima upah yang sesuai dengan upah minimum yang berlaku dan juga memperoleh jaminan sosial dari pemerintah.
"Yang bagus itu sektor formal. Sektor formal biasanya standar upahnya kan minimal UMR, ada jaminan sosial, dan sebagainya," ucap Tauhid.