Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Garuda Indonesia Bakal Makin 'Berdarah-darah' Jika Harga Tiket Pesawat Turun, Sudah Rugi Rp2 Triliun

Jika pemerintah mau menurunkan harga tiket pesawat maka hal pertama yang harus dibahas adalah bagaimana efek yang akan timbul.

Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Garuda Indonesia Bakal Makin 'Berdarah-darah' Jika Harga Tiket Pesawat Turun, Sudah Rugi Rp2 Triliun
Dokumen ANgkasa Pura II
Harga tiket pesawat di Indonesia disebut-sebut termahal kedua di dunia. Sementara untuk tiket termahal nomor 1 di dunia yakni Brazil. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah menargetkan harga tiket pesawat turun sebelum natal 2024 dan tahun baru 2025 (Nataru).

Di sisi lain, jika harga tiket pesawat diturunkan maka kinerja keuangan Garuda Indonesia akan semakin merosot.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengaku tidak menentang soal rencana pemerintah yang menargetkan harga tiket pesawat turun sebelum Nataru 2025. 

"Kami tidak menentang (penurunan harga tiket), tapi saya akan sampaikan kalau harga tiket pesawat minta diturunkan saya (Garuda) akan rugi, siapa nanti yang tanggung jawab?" ujar Irfan dikutip Sabtu (2/11/2024).

Irfan menyampaikan, jika pemerintah mau menurunkan harga tiket pesawat maka hal pertama yang harus dibahas adalah bagaimana efek yang akan ditimbulkan dengan kebijakan itu. 

Baca juga: Ini Solusi Menteri BUMN Erick Thohir Turunkan Harga Tiket Pesawat

Selain itu pemerintah juga harus bisa memantau  maskapai penerbangan lain apakah juga akan taat aturan dengan kebijakan itu. 

“Jangan hanya Garuda saja yang diminta turunkan harga tiket, yang lain-lain gimana. Makanya saya selalu bilang mendingan mari kita bicarakan harga tiket tapi juga mari kita lihat sebetulnya biayanya sebenarnya yang mana sih yang enggak pantas dibebankan ke penumpang? Jangan lihat sepotong-potong tapi secara keseluruhan,” ujarnya.

Berita Rekomendasi

Garuda Rugi Rp2 Triliun

Hingga kuartal III 2024, Garuda Indonesiaa masih rugi US$131,22 juta atau setara dengan Rp2 triliun. 

Berdasarkan laporan keuangan akhir September 2024, Garuda membukukan pendapatan usaha sebesar US$2,56 miliar sepanjang 9 bulan pertama tahun ini. 

Capaian tersebut meningkat 15 persen dari periode yang sama tahun lalu yang membukukan US$2,23 miliar. 

Pendapatan usaha Garuda ditopang oleh segmen penerbangan berjadwal yang mencapai US$2,01 miliar atau meningkat 17% year on year (YoY). 

Adapun penerbangan tidak berjadwal juga mencatatkan kenaikan 6% secara tahunan menjadi US$291,15 juta. 

Turun Sebelum Nataru

Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi menargetkan tarif tiket pesawat akan menurun sebelum Nataru.

"Saya harapannya sebelum Nataru sudah bisa (turun)" kata Dudy kepada wartawan di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2024).

Dudy mengatakan, pemerintah masih menunggu hasil daripada Satuan Tugas (Satgas) yang mengatasi penurunan tarif tiket pesawat domestik yaitu di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Satgas tersebut sebelumnya berisikan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, serta kementerian/lembaga lainnya.

"Setahu saya itu dikoordinasikan oleh Kemenko perekonomian ya. Nanti kami menunggu dari Menko Perekonomian untuk menyampaikan hasil dari Satgas itu," ucapnya.

Adapun persoalan tarif tiket pesawat ini telah menjadi 'PR' dari pemerintahan sebelumnya di era Joko Widodo. Kala itu pemerintah sempat menyebut bahwa tarif tiket pesawat akan turun 10 persen pada Oktober 2024 ini. 

Di satu sisi, tiket pesawat di Indonesia disebut-sebut termahal kedua di dunia. Sementara untuk tiket termahal nomor 1 di dunia yakni Brazil.

Termahal di Dunia

Harga tiket pesawat di Indonesia disebut-sebut termahal kedua di dunia. Sementara untuk tiket termahal nomor 1 di dunia yakni Brazil.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) turut menyoroti mahalnya harga tiket pesawat di Indonesia.

Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi mengungkapkan, yang membuat mahalnya harga tiket justru adalah kebijakan dari Pemerintah itu sendiri.

Yakni salah satunya Pajak Pertambahan Nilai atau PPN, yang dikenakan atas transaksi penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi pengusaha kena pajak.

"Salah satu faktor yang membuat tiket pesawat mahal ya kebijakan pemerintah itu sendiri, yakni adanya PPN sebesar 11 persen. Bahkan tahun depan menjadi 12 persen," ungkap Tulus.

Ia juga mengungkapkan, jika dilihat lebih detail, pungutan PPN yang dibebankan kepada konsumen khususnya penumpang jasa transportasi udara ini cukup banyak.

Seperti PPN untuk komponen Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U).

"Karena di tarif PJP2U atau retribusi bandara sudah dikenakan PPN, di harga avtur kena PPN juga, kemudian dalam tarif tiket pesawat juga dikenakan pungutan PPN. Jadi ada berlipat lipat pungutan PPN yang membebani konsumen," beber Tulus.

Untuk itu, seharusnya yang perlu dikaji kembali untuk menurunkan harga tiket pesawat adalah kebijakan dari Pemerintah itu sendiri.

"Oleh karena itu, jika Luhut Binsar Pandjaitan serius mau nurunin tiket pesawat, ya audit pungutan PPN di berbagai komponen tiket pesawat itu," papar Tulus.

"Kalau perlu hapuskan PPN, niscaya besaran tiket pesawat akan turun signifikan," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas