Tanpa APD Tanpa Jaga Jarak, Hanya Pakai Masker, Anggi Rawat Ibunya yang Sakit Covid Hingga Sembuh
Banyaknya rumah sakit yang kewalahan menerima pasien Covid-19 memaksa Anggi Oktarinda memutuskan untuk merawat sendiri ibunya di rumah.
Editor: Muhammad Barir
![Tanpa APD Tanpa Jaga Jarak, Hanya Pakai Masker, Anggi Rawat Ibunya yang Sakit Covid Hingga Sembuh](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/anggi-di-mekkah.jpg)
Ternyata pihak puskesmas mengaku tidak bisa memberikan lebih. Hanya itu yang bisa diberikan kepada setiap pasien terkonfirmasi positif. Alasannya karena sudah sesuai dengan arahan dokter.
Tetapi instingku karena stok antivirusnya terbatas, sementara penyakit ini kian mengganas dan memapar banyak sekali orang di wilayah kami. Aku pun mafhum.
Kucoba cari keliling Bandung. Entah berapa apotek didatangi. Nihil. Nol. Kukontak kenalan nakes di sebuah RS di Bandung, dia membenarkan, saat ini sudah susah sekali dapat antivirus di Bandung. Antivirus yang ada hanya untuk rumah sakit. Bukan untuk dijual ke umum. (Padahal ya, dibandingkan mereka yang dirawat di RS, jumlah penderita isoman jauh lebih banyak. Cek aja datanya, harusnya sih ada)
Akhirnya kukontak kenalan di Jakarta. Sebab menurut kabar, ketersediaan antivirus ini di Jakarta masih ada. Kenapa si antivirus ini sebegitu pentingnya? Karena dia berfungsi untuk menahan si virus beranak.
Artinya jumlah virus yang ada di dalam tubuh ibu dijaga agar tidak semakin banyak, lalu yang ada itu digempur dengan berbagai vitamin juga asupan pendongkrak imun. Kurang lebih begitu lah.
Sementara menunggu kepastian dan kiriman antivirus dari Jakarta, kami mencoba bertahan dengan stok terbatas yang didapat dari puskesmas.
Dibawa ke Rumah Sakit tapi Tak Ada yang Menerima
Kamis, 8 Juli 2021, siang. Kurir pengirim paket tiba, memberikan pesanan oksimeter. Kuukur saturasi oksigen ibu: 66. Angka ini langsung kukonsulkan ke beberapa saudara dan sahabat yang berprofesi dokter. Jawabannya sama: harus dibawa ke RS SESEGERA MUNGKIN.
Kupanggil ambulans desa. Alhamdulillah ada. Kuyakinkan ibu untuk mau dirawat di RS, meskipun diri sendiri tidak sampai hati melihat beliau diisolasi sendiri di RS di tengah kondisi seperti ini - ketika para dokter dan nakes se-Bandung Raya sudah kelelahan menghadapi wabah. Alhamdulillah beliau mau.
Pukul 16.30 kami berangkat menuju IGD sebuah RSUD tak jauh dari rumah. Tiba di sana, ruangan sudah penuh. Ibuku ada di antrian 8, sedangkan 7 orang di depannya ada yang sudah mengantri di IGD selama 3 hari dan belum juga dapat kamar. Kondisi saat itu, para pasien mengantri di IGD sambil didudukan di kursi roda, karena RS pun sudah kehabisan tempat tidur.
Geser ke RS lain, hampir sama tidak mungkinnya. Karena, sebelum berangkat, kami sudah konfirmasikan beberapa RS lainnya di Bandung sudah kewalahan menerima pasien baru, terutama mereka yang bergejala sesak napas.
Ada yang berkata bahwa ranjang sudah penuh, ada yang terang-terangan mengakui tidak menerima pasien sesak napas karena ketiadaan stok oksigen. Mau beranjak ke RS pusat yang jadi rujukan pun, rasanya bukan opsi yang bijak waktu itu, mengingat jumlah antrian pasien IGD yang kabarnya sudah mencapai 3 digit, juga jaraknya cukup jauh dari posisi kami. Memberatkan bagi pasien.
Jangan tanya deh perasaan waktu itu. Sebagai satu-satunya yang negatif di rumah dan membawa ibu yang kritis ke RS tapi ternyata tidak bisa diterima, itu rasanya.... wow.
Solusi Homecare Alias Perawatan di Rumah
Tidak putus asa, kucoba bernegosiasi dengan perawat di IGD. Meminta solusi atau masukan. Alhamdulillah, ternyata mereka memberi opsi homecare alias perawatan di rumah.
Artinya ibu tetap diisolasi di rumah, bukan di rumah sakit, dengan fasilitas perawatan dan asupan obat selayaknya di rumah sakit. Solusi yang terbaik nih.
Bagus untuk kondisi psikologi si pasien, sekaligus tenang juga bagi kami. Cuma bedanya, kalau biaya perawatan Covid di RS ditanggung oleh pemerintah, perawatan di rumah ditanggung sendiri. Tentunya tidak sedikit.
Singkat cerita, perawatan di rumah pun mulai berjalan sejak Kamis malam pukul 23.00 WIB. Selain dipasok antivirus (yang mana sudah amat susah banget sekali ditemukan secara bebas di seantero Bandung Raya) dan beberapa obat pendukung, ibu juga mendapatkan infusan untuk menopang daya tahan tubuhnya.
Di sela-sela waktu tersebut, ibu - yang sudah menyatakan tekadnya untuk pasrah tetapi tidak akan menyerah - nunut banget dengan semua yang ditugaskan ke beliau oleh kami - sesuai arahan para ahli, tentunya.
Semua makanan, minuman, camilan yang kami sodorkan, dihabiskannya tanpa bersisa. Tidak enak dan tidak suka pun beliau sikat.
Di antara asupan harian yang masuk ke tubuh beliau: madu 3 sendok sehari, aloe vera dan susu dari Herbalife, camilan buah-buahan seperti pisang, apel, tomat, pepaya, di dalam mangkok yang kemudian ditaburi bubuk susu di atasnya, nasi beras hitam dengan tahu, tempe, telur, pare, dan irisan bawang putih, plus sayuran kuah.
Lalu susu UHT, kurma, dan biskuit tanpa rasa. Juga air kelapa muda. Begitu terus di ulang-ulang setiap hari. Tidak ada kata bosan karena keinginan sehat kembali begitu tinggi.
Prone position, mulai dari rebah kanan disangga tiga bantal di bawah kepala, pinggang dan diapit betis, lalu duduk bersandar bantal tiga, hingga posisi sujud untuk mengeluarkan dahak, terus dilakoni setiap hari sesuai kemampuan beliau di hari itu.
Begitu juga berjemur, yang dilakukan sesuai dengan kemampuan pula. Saat belum mampu berjalan ke luar kamar, aktivitas jemur dilakukan di kamar lewat bantuan jendela.
Perjuangan Mencari Oksigen
Tidak lupa pasokan oksigen yang selalu dipastikan terus ada. Nah, masalahnya, teryata berbarengan dengan masa kritis ibu, banyak orang lainnya di Bandung Raya yang juga menghadapi masalah serupa dan membutuhkan oksigen.
Alhasil, cerita mencari oksigen ini jadi perjuangan yang penuh drama sekaligus bukti adanya pertolongan Yang Maha Kuasa.
Yang sampai keliling Bandung lah buat nyari oksigen tapi nihil, yang udah antri 1,5 jam dengan dua tabung kecil di tangan eh ga taunya pas sudah sampai depan oksigennya habis dan kami terpaksa balik kanan, yang dicurhatin tukang oksigen sambil berkaca-kaca karena susahnya pasokan bikin dia kehabisan stok bahkan hingga ga mampu menolong kerabatnya yang perlu oksigen sampai akhirnya meninggal.
Lalu dari yang tadinya sama sekali ga punya tabung oksigen sekonyong-konyong dapat kiriman tabung besar dari tantenya seorang sahabat, dan di saat yang sama datang pinjaman tabung dari sohibnya ibu, kemudian yang nyarissss saja ga kebagian oksigen tetapi karena ngasih tebengan untuk istri si empunya toko akhirnya dapat "kadeudeuh" untuk ngisi tabung, yang udah kehabisan stok banget sampai akhirnya tengah malam buta dapat dari Garut, atas bantuan relawan, pokoknya banyak deh ceritanya.
Dalam sehari, aku bisa 2-3 kali keluar rumah untuk berburu oksigen. Semua itu, ketika dijalani, terus terang bikin dag dig dug duer ga kira-kira. Orang tua satu-satunya sedang kritis di rumah, sementara diri ini masih belum juga pegang pasokan oksigen pengganti.
Di stasiun agen pengisian oksigen juga, rasanya aku seperti bisa melihat langsung ke dalam inti kehidupan. Terlihat sorot-sorot mata getir yang berharap dengan cemas demi bisa membawa pulang satu tabung oksigen kecil.
Karena nyatanya, membawa pulang satu tabung oksigen kecil itu bagaikan hadiah tak terkira bagi kami para pemburu oksigen, demi memperpanjang nafas orang tercinta yang sedang menunggu sembari berjuang melawan penyakitnya.
Sebagai upaya nambah-nambah pasokan oksigen di kamar pasien, setiap jam 06.00 WIB kuangkut belasan pot aglonema dari teras rumah ke kamar ibu. Sambil minta mereka produksi oksigen sebanyak-banyaknya untuk ibu. Lalu setiap mau magrib, pot-pot itu diangkut lagi ke teras luar.
Efektif? Entahlah. Tapi di kondisi begitu, rasanya apapun worthed.
Kondisi Ibu Terus Membaik
Saat status ini dibuat, Minggu 18 Juli 2021, sepenggal kisah di atas sudah menjadi cerita masa lalu. Sepercik momen yang rasanya tak ingin lagi diulang dan aku berharap tidak perlu dialami pula oleh orang lain.
Kalaupun saat ini ada yang merasakan pengalaman serupa, perjuangan yang senada, semoga tetap sehat, tetap gigih dan semangat, juga tetap berpegang keyakinan pada pertolongan-Nya.
Kini, alhamdulillah kondisi ibu terus membaik. Masa kritisnya sudah lama lewat. Saturasi yang semula 66 (tanpa bantuan oksigen) dan 72 (dengan oksigen) perlahan tapi pasti terus membaik.
Sedikit demi sedikit levelnya naik ke angka 70-an, lalu 80-an, dan kini sudah mulai masuk angka 90-an jika tanpa oksigen.
Berjemur sudah mampu. Makan pun sudah minta tambah-tambah terus. Insya Allah sudah masuk masa pemulihan. Sebuah kondisi yang tidak pernah saya sangka sebelumnya akan secepat ini.
Apalagi jika mengingat usia dan riwayat penyakit bawaan ibu. Mudah-mudahan dalam waktu dekat hasil swab pun PCR beliau sudah negatif lagi.
Pentingnya Penerimaan dalam Diri Pasien dan Semuanya Harus Saling Mendukung
Beberapa pelajaran penting yang kupetik dari perjalanan kondisi ibu saat sakit, lalu terkonfirmasi positif Covid, hingga penyembuhan yaitu:
1. Penerimaan, khususnya dalam diri si pasien, umumnya pada diri anggota keluarga terdekat. Karena penerimaan di awal ini akan menentukan bagaimana sikap dan perilaku kita dalam menghadapi penyakit.
2. Support system yang kuat dan kompak. Alhamdulillah saat kondisi ibu sedang serius hingga kembali sedang, kami di rumah kompak dan kuat.
Ada yang sangat telaten mengurus asupan gizi ibu. Ada yang telaten menjaga kebersihan dan kenyamanan rumah, termasuk kamar ibu. Ada yang telaten mengecek ketersediaan oksigen dan kondisi selang infus ibu. Juga ada yang telaten berburu oksigen di luaran, termasuk berburu bahan makanan penunjang bagi 5 orang yang isoman.
3. Tidak berhenti meminta pertolongan-Nya. Karena terus terang, dalam kasus kami, banyak sekali pertolongan yang tidak disangka-sangka datangnya, tetapi sangat urgent sifatnya.
Akhir kata, di sepenggal akhir tulisan ini, ku mau bilang terima kasih sebesar-besarnya untuk sahabatku Gita Cakti yang sama-sama tertimpa ujian serupa di lain kota, tetapi masih sempat berusaha memastikan hadirnya tabung oksigen untuk ibu, mba Neng Herba dan suami yang sudah begitu sigap memasok antivirus yang sudah sangat langka di Bandung juga beragam vitamin.
Aa-Aa ambulans dan Kang oksigen yang sampai apruk-aprukan tengah malam demi mengupayakan adanya tabung cadangan buat ibu, padahal kenal juga baru hari itu, adek-adek relawan yang sudah bermotor tengah malam dari Wanaraja Garut demi mengantar oksigen ke meeting point di kawasan Cicalengka Bandung, Kang perawat yang sudah mau merawat ibu dari rumah, udaku Yudi Febriadi yang sudah telaten sekali meng-update kondisi ibu setiap hari sambil memberikan banyak sekali arahan dan masukan yang super duper bermanfaat buat penyembuhan ibu.
Tiap hari loh! Bener-bener deh, ga ada lawan nih kerennya uda satu ini! Dan terutama sekali terima kasih untuk keluarga besar kakekku, yang sudah turut serta merawat dan mengkhawatirkan ibu, padahal semuanya pun sedang diuji dengan penyakit yang sama.
Juga untuk semua teman dan kerabat yang sudah begitu support lewat doa. Semoga semuanya mendapatkan balasan kebaikan dari Sang Maha Penyayang, balasan kebaikan yang beribu-ribu kali lipat, karena sudah menolong orang yang kesusahan.
Dan terima kasih, tentu saja, untuk ibuku yang seorang pejuang, inspiratif, sekaligus penyayang. Terima kasih untuk tidak menyerah menghadapi wabah ini, sehingga kita masih punya hari ini untuk dibagi bersama.
Seminggu sampai 2 minggu lalu, aku tidak berani memikirkan akan seperti apa hariku di tanggal 18 Juli 2021 ini. Dan kini, ketika hari ini datang, hanya syukur beribu-ribu yang mampu terucap dan tersampaikan.
Terima kasih Allah SWT, sudah menjaga dan menyembuhkan ibuku. Segala puji bagi-Mu wahai yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.
Selamat Ulang Tahun, Ma. Semoga panjang umur, sehat rohani, sehat jasmani, berkah sisa usia, dan selalu dalam perlindungan-Nya.
Sekian sharing berita baiknya, teman. Untuk semua yang sedang ditimpa ujian, jangan putus semangat dan usaha.
Semoga sebagaimana halnya keluargaku, khususnya ibu yang lansia dan komorbid, siapa pun yang terkena wabah penyakit ini, di mana pun, dan dalam kondisi apapun, tetap dikuatkan, dimampukan, dan disehatkan kembali.
Harapan, sekecil apapun itu, sesungguhnya selalu ada. Semoga juga pandemi ini segera berakhir dari muka bumi. Aamiin..