Fadli Zon: BKSAP DPR RI Kutuk Rezim Kudeta Myanmar
Saya menilai ASEAN lamban dalam menyikapi kudeta itu. ASEAN seharusnya lebih progresif dan dinamis dalam memaknai prinsip non-interference.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI turut merespon situasi terkini di Myanmar yang sangat mencemaskan menyusul krisis politik di negara tersebut akibat kudeta militer pada 1 Februari 2021 lalu. Hal ini didasarkan atas pengamatan secara seksama dan sebagai institusi yang dimandatkan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam konstitusi.
Ketua BKSAP DPR RI, Presiden SEAPAC, Wakil Ketua GOPAC Fadli Zon mengatakan pihaknya mengutuk keras aksi brutal rezim militer Myanmar yang menyebabkan puluhan demonstran tewas.
“Sebagai Ketua BKSAP DPR RI, saya mengutuk keras aksi brutal rezim militer Myanmar terhadap para demonstran pro-demokrasi yang menyebabkan jatuhnya puluhan korban tewas, luka-luka, dan penahanan ribuan orang tanpa proses hukum,” kata Fadli Zon dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews, Kamis (11/3/2021).
BKSAP DPR RI juga mendesak PBB, ASEAN, dan komunitas internasional lainnya untuk secara cepat melakukan langkah-langkah yang diperlukan. Komunitas internasional terutama PBB dan ASEAN harus sigap untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar pada umumnya sebagai prioritas.
“Demikian pula repatriasi ratusan ribu warga etnis Rohingya yang diusir dengan penuh kekerasan oleh militer Myanmar,” ungkapnya.
Langkah prioritas lainnya yaitu memulihkan demokrasi dan menjaga perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan kawasan. “Saya mendesak rezim militer Myanmar untuk membebaskan para tahanan termasuk anggota parlemen, oposisi, jurnalis, aktivis HAM dan demokrasi serta menjamin keselamatan petugas medis dalam menyelamatkan mereka yang terdampak dalam aksi menentang kudeta,” tambahnya.
Dunia internasional terutama PBB dan ASEAN harus segera merumuskan cara yang sesuai dengan hukum dan norma internasional agar militer Myanmar dan pihak-pihak yang berkonflik di Myanmar dapat berdialog secara setara, yaitu dengan pembebasan tokoh-tokoh oposisi sipil terlebih dahulu.
“Saya menilai ASEAN lamban dalam menyikapi kudeta itu. ASEAN seharusnya lebih progresif dan dinamis dalam memaknai prinsip non-interference,” jelasnya.
Prinsip non-interference seharusnya ditempatkan dalam kerangka kewajiban negara-negara anggota ASEAN untuk menjalankan prinsip dan nilai-nilai bersama secara utuh yang termuat dalam Piagam ASEAN.
“Bersama BKSAP DPR RI saya juga mendukung penuh Pemerintah Indonesia sebagai peacemaker, problem solver, dan bridge builder dalam menyelesaikan krisis Myanmar,” ungkap Fadli Zon.
Ia menambahkan, hal itu harus dijalankan secara prudence agar tidak mengorbankan prinsip good neighborhood policy dengan tetap berkomitmen untuk menjadikan demokrasi dan HAM sebagai salah satu norma dasar pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN.
“Salah satu langkah yang akan diambil oleh BKSAP, yaitu akan bersurat kepada Presiden ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) untuk mendesak organisasi tersebut melakukan langkah konkret menjamin penghormatan prinsip dan tujuan dari Piagam ASEAN antara lain penegakan demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, good governance, rule of law, dan constitutional government,” jelasnya.
Harus diingat pula bahwa AIPA dibentuk tujuannya antara lain mempromosikan prinsip HAM, demokrasi, perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan ASEAN. BKSAP juga mengusulkan AIPA menangguhkan keanggotaan Parlemen Myanmar sampai ada Parlemen Myanmar yang demokratis dan kembali aktif.
“Pada level global, kudeta Myanmar akan dibawa ke Parlemen Dunia. BKSAP tengah mempertimbangkan mengajukan rancangan resolusi terkait kudeta di Myanmar sebagai emergency item yang akan diajukan di sesi Inter Parliamentary Union (IPU) pada April mendatang,” pangkasnya.