Anggota Komisi VIII DPR RI: Indonesia Butuh Juru Tawar Atasi Persoalan Haji
Keberadaan juru tawar atau negosiator sangat krusial dalam rangka memuluskan penyelenggaraan haji bagi jemaah asal Republik Indonesia.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Anita K Wardhani
Saya orang yang mendukung penyelenggaraan haji ini harus tetap pemerintah tetapi pemerintah pun harus terus belajar bagaimana mengelola, pengelolaan ibadah haji ini sebagai etalase terdepan di tengah masyarakat. Yang diberikan pada jemaah haji Indonesia ketika dia melakukan ibadah haji ketika mereka ada di luar negeri. Pelayanan soal keamanan, ketenangan, kenyamanan, dan pemendirian itu sesuai undang-undang bisa terlaksana.
Yang kedua, mungkin iya, itu artinya kita tahu bahwa di satu sisi ada pemerintah resmi lewat Wazirul Haj yang berpartner dengan kita, dengan Departemen Agama, tetapi ingat bahwa penyelenggara haji ini jauh sebelum Islam ada pun. Itu sudah, sudah datang.
Namanya tentu bukan haji ya. Kunjungan ke Kabah itu menjadi sebuah tradisi lama, dan pemain-pemainnya itu turun temurun. Tetapi kita tahu bagaimana tradisi Arab itu sangat menghargai orang yang mampu untuk tawar-menawar sampai menemukan harga saling ridho, saling rela.
Pertanyaannya kita memiliki tidak orang yang mampu, orang juru tawar, lalu dia bisa menentukan spek-spek barang-barang yang ditawarkan, dan itu akan dihargai. Jadi jangan sampai persoalannya kita menuduh vendor-vendor Arab. Padahal ada orang-orang kita, entah itu orang yang mukimin di sana, entah itu yang di dalam kementerian agama, yang sebenarnya menikmati itu.
Jadi saya rasa, mari kita kembali penyelenggaran haji ini berangkat dari sampai sejauh mana kita memiliki orang-orang yang profesional, orang-orang yang amanah, orang-orang yang bisa menempatkan penyelenggaran haji ini sebagai bentuk pelayanan terbaik kepada rakyat Indonesia yang menjadi jemaah haji.
Pak Kyai, ada informasi yang menyebutkan para vendor itu menerima uang tidak sesuai dengan bukti formalnya. Jadi kalau misalkan harusnya nerima 10 di dalam dokumen tapi mereka hanya nerima 6. Apakah ada fakta atau indikasi semacam itu?
Ya itu dia, dari tahun ke tahun kita sering mendengar kabar-kabar itu. Jadi istilah saya tadi, kayak kentut saja gitu, baunya ada tapi kita nggak bisa nuduh siapa orangnya.
Tetapi saya yang nggak ngerti bisnis pun, kadang-kadang lucu. Misalnya saya kan pengawasan dua kali, sehingga kita tahu ada orang-orang yang kita diajak untuk ke satu hotel, lalu hotel itu punya jaringan holding yang besar, lalu kita tanya mana hotelnya, ditunjukin hotel yang baik-baik.
Hotel yang kita bilang, ingat ya ini hanya 4 orang, ingat ya ini dan sebagainya. Tetapi ketika itu kita hitung, memang semua hotel bentuknya begini?
Memang nanti semuanya betul-betul isinya segini? Emang nanti harganya sama? Karena bentuknya berbeda, harganya beda.
Sementara misalnya dari 10 jenis hotel itu, itu jenisnya bisa berbeda-beda, ada grid A, grid B, grid C, seperti itu. Sehingga dalam grid-grid itulah, ada celah orang untuk mengambil keuntungan. Itu dari sisi saya saja, tapi kan harus dibuktikan, harus detail, dari poin ke poin, lalu kenapa ini harganya ini dan sebagainya.
Selisih-selisih itu, termasuk selisih dari dolar ke real, dari rupiah ke dolar, karena kita harus bayar pesawat dan sebagainya. Seperti itu termasuk dari rupiah ke real, bayangkan saja, selisihnya berapa? Nah selisih-selisih itulah yang kita pertanyakan, kemana uang itu masuknya, mengalirnya, seperti itu.
Karena kalau semuanya amanah, kita bisa lihat, oh iya ini dari selisih penjualan dolar, dari real dan sebagainya, kita masih ada sisa. Oh iya, hotel yang 10 hotel itu ternyata, yang sudah kita ketok berapa ribu, ternyata ada yang grade C itu, yang harganya tidak semahal atau tidak sesuai dengan harga yang kita ketok. Masih ada selisih itu, bayangkan kita bisa melakukan efisiensi yang banyak.
Pak Kyai, apakah betul Pansus ini telah meminta BPK untuk melakukan audit khusus?