Pasangan di Georgia Harus Berurusan dengan Hukum Gara-gara Namai Anaknya 'Allah'
Departemen Kesehatan Publik Georgia sebelumnya menolak menerbitkan sertifikat kelahiran anak perempuan berusia 22 bulan.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, ATLANTA - Sepasang kekasih mengadukan pemerintah Negara Bagian Georgia, Amerika Serikat, kepada pengadilan karena mereka dilarang menamai anaknya "Allah".
Serikat Hak-hak Sipil Amerika (ACLU) Georgia mengajukan gugatan ke pengadilan di Fulton County atas nama pasangan, Elizabeth Handy dan Bilal Walk, demikian The Telegraph, Selasa (28/3/2017).
Departemen Kesehatan Publik Georgia sebelumnya menolak menerbitkan sertifikat kelahiran anak perempuan berusia 22 bulan.
Alasannya, hukum negara memerlukan nama keluarga sang bayi, baik dari nama ayah maupun nama ibunya, untuk catatan kelahiran awalnya.
Pasangan yang belum menikah itu memberi nama perempuannya, yang merupakan anak kedua mereka, dengan nama Zaly Kha Graceful Lorraina Allah.
Para pejabat Georgia mempersoalakan nama "Allah" tersebut. Sebab, Allah dalam bahasa Arab berarti Tuhan.
Dengan mengacuh pada hukum yang berlaku di negara bagian tersebut, para pejabat Georgia meminta nama belakang anak mereka diganti dengan Handy atau Walk, atau gabungan nama belakang keduanya.
Pasangan Handy dan Walk mengatakan kepada The Atlanta Journal-Constitution bahwa mereka memberi nama Allah karena nama itu "mulia" tak ada hubungan sama sekali dengan agama.
Pasangan yang tak menikah itu juga telah memberi nama anak pertama mereka, seorang anak laki-laki, dengan nama Masterful Mosirah Aly Allah, demikian menurut berkas gugatan.
"Sederhananya, kami memiliki pemahaman pribadi sehingga kami memberikan nama itu," kata tuan Walk kepada jurnal tersebut.
"Tidak ada yang kami ingin jelaskan secara detail tentang hal itu karena memang tidak penting. Yang terpenting adalah bahasa dari undang-undang dan hak-hak kami sebagai orangtua."
ACLU Georgia mengajukan gugatan atas nama pasangan tersebut, yang mengatakan bahwa mereka tidak mendapat nomor Keamanan Sosial (Social Security) untuk anak putrinya karena mereka tak memiliki akta kelahiran.
Mereka juga mengantisipadi masalah-masalah terkait akses untuk perawatan kesehatan, sekolah, dan perjalanan, seperti dilaporkan The Atlanta Journal-Constitution.
"Ini jelas-jelas tidak adil dan terjadi pelanggaran hak-hak kami," kata Walk.
Keputusan negara bagian tersebut adalah contoh dari tindakan berlebihan yang dilakukan pemerintah setempat dan terjadi pelanggaran terhadap Amandemen Pertama dan Ke-14, kata Direktur Executive ACLU Georgia, Andrea Young.
"Orangtua harus memutuskan nama anaknya, bukan negara (bagian). Ini adalah kasus yang sederhana," kata Michael Baumrind, pengacara lain yang mewakili keluarga.(Pascal S Bin Saju)