PBB: Tragedi Kemanusiaan yang Dialami Warga Rohingya Harus Dihentikan
Myanmar juga didesak untuk membuka akses kemanusiaan diRakhine, negara bagian yang didiami kebanyakan etnis minoritas Rohingya.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, menggambarkan situasi yang dihadapi minoritas Rohingya di Myanmar sebagai “mimpi buruk kemanusiaan”.
Dalam pidato di Dewan Keamanan di New York, Kamis (28/9/2017) waktu setempat, Guterres mendesak pemerintah Myanmar untuk mengakhiri operasi militer.
Myanmar juga didesak untuk membuka akses kemanusiaan diRakhine, negara bagian yang didiami kebanyakan etnis minoritas Rohingya.
"Situasi di lapangan berubah dengan sangat cepat menjadi darurat pengungsi, (menjadi) mimpi buruk kemanusiaan," kata Guterres.
Ia mengatakan pihaknya menerima kesaksian warga Muslim Rohingya “yang menjadi korban kekerasan luar biasa, termasuk ditembaki dengan membabi buta, menjadi korban ranjau darat, dan serangan seksual.”
"Ini jelas tidak bisa diterima dan harus diakhiri dengan segera," kata Guterres.
Lebih dari 500.000 warga Rohingya menyelamatkan diri ke negara tetangga Banglades untuk menghindari gelombang kekerasan di Rakhine.
Kekerasan dipicu oleh serangan milisi Rohingya yang dibalas dengan operasi militer, yang dikatakan PBB sebagai pembersihan etnis.
Guterres mendesak pemerintah Myanmar mengakhiri operasi militer dan membolehkan akses tak terbatas untuk menyaluran bantuan kemanusiaan agar warga Rohingya bisa kembali ke Rakhine dengan selamat.
"Realitas di lapangan membutuhkan tindakan, tindakan yang cepat, untuk melindungi orang-orang, menghilangkan penderitaan, mencegah instabilitas, dan mengatasi akar masalah yang ada," ujarnya Guterres.
Ia memperingatkan kekerasan sistemis di Rakhine bisa memburuk dan menambah jumlah pengungsi Rohingya.