Dipaksa Berlutut 9 Jam di Atas Biji-bijian, Bocah Ini Harus Dioperasi karena Akarnya Tumbuh di Lutut
Seorang anak berusia 8 tahun harus menjalani operasi setelah ia berlutut di atas biji-bijian selama 9 jam.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Miftah
TRIBUNNEWS.COM - Seorang anak berusia 8 tahun harus menjalani operasi setelah ia berlutut di atas biji-bijian selama 9 jam.
Biji-bijian itu pun mulai berakar di lututnya.
Anak itu harus berlutut sebagai bentuk hukuman yang diberikan ayah tirinya karena ia pulang terlambat.
Dilansir Daily Mail (16/12/2019), kejadian ini terjadi di Rusia.
Sergey Kazakov (35) menghukum anak tirinya itu karena pulang terlambat.
Akar tanaman yang tumbuh di lutut si anak, terpaksa harus diangkat dengan cara dioperasi.
Sang ayah tiri juga menendang dan manjambak anaknya itu saat anaknya berlutut tak bergerak.
Ibunya, Alina Yumasheva mengaku ia sudah mengizinkan jenis hukuman itu.
Alina berkata ia dan suaminya menemukan jenis hukuman seperti itu dari internet.
Alina berkata pada koran Komsomolskaya Pravda bahwa ia mencoba hukuman itu pada dirinya sendiri.
"Aku berlutut, tidak sakit sama sekali. Jadi dia (Sergey) diperbolehkan melakukan hukuman itu."
Namun, narasumber mengatakan anak itu dipaksa berlutut di biji-bijian yang terasa seperti amplas kasar.
Bocah itu pun terdengar berteriak kesakitan saat ayah tirinya menendangnya.
Ia juga dibiarkan kelaparan selama 4 hari saat itu, ungkap polisi.
Sergey berkata pada polisi ia hanya melakukan hukuman itu sekali saja.
Namun, investigator menemukan jejak video hukuman serupa yang telah dihapus di ponselnya.
Kasus bocah itu terungkap saat ia berlari dari rumahnya dan meminta tolong pada tetangga.
Tetangganya memanggil dokter setelah melihat luka mengerikan pada lutut anak itu.
Ibu dan ayah si bocah, kini harus menjalani persidangan.
Keduanya dituntut atas dugaan penganiayaan dan kegagalan mendidik anak.
Sergey sementara ditahan.
Sedangkan ibu si bocah menjadi tahanan rumah selagi investigasi masih berjalan.
Namun, setelah sebulan di rumah sakit, anak itu dikembalikan ke ibunya.
Hal itu terjadi meski bocah itu sempat memohon pada perawat di rumah sakit, "tolong kirim aku ke keluarga yang baik."
Sementara itu, guru kelas si anak, Olga Pidzhakova berkata bocah itu sebenarnya cerdas.
Namun ia merasa bocah itu memendam sesuatu.
"Ia anak yang baik dan positif," ucap sang guru.
"Ibunya rajin menghadiri pertemuan orang tua, selalu datang saat saya panggil."
"Anak itu selalu bersih dan berpakaian dengan rapi."
"Namun, saya, guru-guru atau teman-temannya yang lain tak ada yang sadar ia mendapat perlakukan tak menyenangkan di rumahnya sendiri."
"Mungkin ia takut lapor pada kami."
Kasus Hukuman pada Anak Lainnya: Siswi SD Mengaku Dihukum Push-up 100 Kali karena Tak Bayar SPP
Kasus pemberian hukuman berlebihan pada anak rupanya kerap kali terjadi.
Contohnya saja kasus siswi SD yang dihukum lakukan push-up 100 kali karena belum melunasi SPP.
Seperti yang diberitakan Kompas.com pada 28 Januari 2019 lalu, Orangtua GNS tak punya biaya sehingga belum melunasi biaya pendidikan.
Karena hukuman tersebut, GNS (10) trauma berat hingga tidak mau lagi datang ke sekolah.
GNS mengatakan, peristiwa itu dialaminya pada pekan lalu, di salah satu sekolah kawasan Bojonggede, Kabupaten, Bogor.
"Lagi belajar tiba-tiba dipanggil kakak kelas, untuk menghadap kepala sekolah, enggak tahu kenapa," ucap GNS di di kawasan Kampung Sidamukti, RT 005 RW 010, Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Cilodong, Depok, Jawa Barat.
Setelah menghadap ke kepala sekolah, GNS diminta push-up 100 kali.
"Yang nyuruh kepala sekolah. katanya belum dapat kartu ujian soalnya belum bayaran," ucap GNS dengan mata berkaca-kaca.
Menurut dia, hukuman push-up bukan kali ini diterimanya. Ia sudah dua kali dihukum seperti itu.
Selain itu, kata dia, siswa lain pun ada yang dihukum sama dengannya.
"Pernah lagi waktu itu dihukum push up, tetapi cuma disuruh 10 kali. Dari kelas aku ada dua orang lagi yang disuruh push-up," ucap dia.
Akibat push-up ini, GNS mengalami sakit pada perutnya. Ia pun takut bersekolah lagi.
"Saya takut, takut disuruh push-up lagi (kalau datang ke sekolah)," ujar dia.
Kejadian yang menimpa GNS ini membuat pihak keluarga berencana memindahkannya ke sekolah lain.
Pihak keluarga berharap, tidak ada lagi siswa di sekolah tersebut yang diperlukan demikian.
"Semoga tidak ada lagi yang diperlakukan seperti adik saya ini. Kasihan sudah 10 hari enggak mau sekolah dan enggak mau ketemu orang," ucap kakak dari GNS yang enggan disebutkan namanya.
Kepala Sekolah SDIT Bina Mujtama, Budi, membenarkan adanya hukuman push-up yang dilakukan oleh pihaknya kepada GNS.
Budi mengatakan, hukuman tersebut dilakukan karena GNS belum melunasi SPP selama berbulan-bulan.
“Sudah sangat banyak sih hampir 10 bulan lebih sih belum bayaran bahkan sudah sampai setahun dua tahun gitu,” ucap Budi.
Ia mengatakan, hukuman tersebut sebagai bentuk shock therapy pada GNS agar orangtuanya melunasi SPP.
“Jadi hanya shock therapy kita panggil saja, jadi memang kita lakukan (suruh push up) tapi tidak sampai sebanyak itu (100 kali) cuma 10 kali kok terus kita ajak ngobrol lagi anaknya. Kita juga mengerti kondisinya anak-anak masak kita suruh sampai sebanyak itu,” tutur Budi.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie/Kompas.com, Cynthia Lova)