Perang Dagang China di Balik Pembunuhan Qassem Soleimani, AS Cegah Nego Damai Iran-Saudi
Federico Piaracinni analis independent menguak misteri tentang latar belakang Iran Vs Amerika Memanas, terkait perang dagang China
Editor: Suut Amdani
Saudi juga mengingatkan agar semua pihak menahan diri supaya konflik tidak mengguncang kawasan.
Pangeran Khalid bin Salman langsung terbang ke Washington, bertemu Trump dan lalu ke London.
Ia membawa pesan Pangeran Muhammad sebagai penguasa de facto Saudi, meminta agar Washington menahan diri supaya rakyat kawasan Teluk tidak jatuh dalam peperangan lebih menyakitkan lagi.
Saudi dan Iran agaknya telah menemukan jalan untuk meredakan konflik kawasan dengan perantara Irak.
Karena itu digelar pertemuan di Baghdad, dan Teheraj mengutus Qassem Soleimani.
Reaksi Riyadh terhadap pembunuhan Soleimani tidak menunjukkan kegembiraan atau sampai ada perayaan terbuka.
Baca: Trump: AS Akan Jatuhkan Sanksi Baru ke Iran Setelah Serangan Rudal
Qatar, yang masih bermasalah dengan Riyadh, juga menyatakan dukacita.
Menlu Qatar terbang langsung ke Teheran.
Langkah ini mungkin mengantisipasi jika Iran juga menargetkan Doha sebagai sasaran balas dendam.
Bagaimanapun, drone MQ1 Reaper yang membunuh Soleimani diterbangkan dari pangkalan militer AS di Al Udeid Qatar.
Dalam pidato nasionalnya, Trump menyinggung soal sumber minyak Timur Tengah.
Trump mengatakan AS tidak akan bergantung minyak dari kawasan itu, dan akan menyiapkan sumber energi mandiri.
Pernyataan ini menegaskan, AS sedang menghadapi problem serius ketika China kini menjadi pemimpin dagang sektor strategis di Timur Tengah, Afrika, maupun Amerika Selatan, khususnya Venezuela sebagai pemilik cadangan minyak terbesar kedua di dunia.
Venezuela, Rusia, Iran, Irak, Qatar dan Arab Saudi merupakan pemilik mayoritas cadangan minyak dan gas di dunia.
Tiga pihak pertama memiliki hubungan sangat kuat dengan Beijing.
China dan Rusia di sisi lain ingin konsolidasi lebih lanjut untuk memastikan pertumbuhan masa depan benua super Eurasia terbebas dari perang dan konflik.
Arab Saudi, di sisi lain pro-AS tetapi bisa condong ke kamp Sino-Rusia baik secara militer maupuj terkait sektor energi.
Proses yang sama sedang berlangsung dengan Irak dan Qatar berkat berbagai kesalahan strategis Washington di wilayah tersebut.
Pendudukan Irak sejak 2003, penghancuran Libya, Suriah dan Yaman sejak 2011, membuat negara-negara Teluk berusaha menyiapkan alternatif lain jika AS terus membabibuta.
Perjanjian Irak dan Cina di sektor konstruksi adalah contoh penting bagaimana Beijing bermaksud menggunakan troika Irak-Iran-Suriah untuk menghidupkan Timur Tengah dan menghubungkannya megaproyek Chinese Belt and Road Initiative.
Arab Saudi menjadi eksportir minyak terbesar untuk Cina, sedangkan Qatar dan Rusia muncul sebagai eksportir utama LNG ke Tiongkok.
Sektor gas ini sangat vital bagi China dan sesuai visi 2030 Xi Jinping yang ingin mengurangi secara drastis polusi udara di negaranya.
AS sama sekali tidak hadir dslam gambar besar masa depan ini.
Mereka memiliki sedikit kemampuan untuk mempengaruhi perubahan, atau menawarkan alternatif ekonomi yang lebih menarik.
Washington ingin mencegah integrasi Eurasia dengan menyulut kekacauan dan kehancuran di kawasan itu.
Pembunuhan Soleimani ada di rangkaian usaha itu.
Sulit bagi AS membayangkan jika mata uang dolar AS akan kehilangan statusnya sebagai alat transaksi internasional.
Trump pun masuk ke pusaran masalah yang membuat AS seperti putus asa.
Trump dan para pembidiknya mungkin sangat percaya serangan drone-nya terhadap Soleani dapat menyelesaikan semua masalahnya dengan menakuti lawan-lawannya, memenangkan dukungan pemilihnya (dengan menyamakan pembunuhan Soleimani dengan Osama bin Laden)
Mereka mengirimkan peringatan kepada negara-negara Arab tentang bahaya memperdalam hubungan mereka dengan China.
Upaya Irak untuk memediasi perdamaian antara Iran dan Arab Saudi, menurut Federico Piaracinni, telah dibungkam AS dan Israel, untuk mencegah perdamaian menyeluruh di wilayah tersebut.
(Tribunjogja.com/xna)