Warga Wuhan: Kami Lebih Baik Mati di Rumah Daripada Dikarantina Karena Corona
Ibu rumah tangga berusia 33 tahun tersebut bersama dengan keluarganya memutuskan tetap tinggal di kota sejak 23 Januari.
Penulis: Yurika Nendri Novianingsih
Editor: Hasanudin Aco
"Ibu dan bibi saya pergi ke rumah sakit setiap hari dengan harapan mendapatkan kamar untuk ayah meskipun dalam keterbatasan kondisi kesehatan mereka."
"Namun tidak ada rumah sakit yang mau menerimanya," ujar dia.
Ia mengetahui, ada banyak titik karantina bagi pasien yang memiliki gejala kecil atau masih dalam masa inkubasi di Wuhan.
"Ada beberapa fasilitas sederhana dan sangat mendasar di sana. Namun, bagi orang yang sakit kritis seperti ayah saya, tidak ada tempat tidur untuk mereka."
Ia menjelaskan tentang kematian pamannya yang terjadi di satu di antara tempat karantina.
"Paman saya sebenarnya meninggal di salah satu tempat karantina karena tidak ada fasilitas medis untuk orang dengan gejala parah."
"Saya benar-benar berharap, ayah saya bisa mendapatkan perawatan yang tepat, tetapi tidak ada yang berhubungan dengan kami atau membantu kami saat ini."
Wang telah mencoba menghubungi pekerja komunitas beberapa kali, tetapi respon yang didapat tidak adanya kesempatan bagi ia dan keluarga untuk bisa dirawat di rumah sakit.
Wang juga mengatakan, titik karantina yang dikunjungi ayah dan pamannya bukanlah rumah sakit melainkan sebuah hotel.
"Tidak ada perawat atau dokter dan tidak ada pemanas. Mereka pergi pada sore hari dan staf di sana memberikan makan malam yang sudah dingin."
"Paman saya sakit parah, dengan gejala pernapasan parah dan mulai kehilangan kesadaran."
"Tidak ada dokter yang datang untuk mengobatinya. Dia dan ayahku tinggal di kamar yang terpisah."
"Ketika ayah pergi menemuinya pukul 06.30 pagi, dia sudah meninggal."
"Kami lebih baik mati di rumah daripada pergi ke karantina," tegas Wang.