Ada Tekanan Politik, FDA Akhirnya Setujui Pengobatan Covid-19 dengan Plasma meski Masih Diragukan
FDA menyetujui penggunaan darurat plasma darah untuk penyembuhan Covid-19. Langkah ini dinilai diambil FDA setelah adanya tekanan politik
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat atau U.S Food and Drug Administration (FDA) menyetujui penggunaan darurat plasma darah untuk penyembuhan Covid-19.
Langkah ini dinilai diambil FDA setelah adanya tekanan politik dari Gedung Putih.
Padahal, pengobatan plasma sendiri belum 100 persen terbukti ampuh atasi Covid-19.
Pengobatan plasma yang dimaksudkan di sini adalah pengambilan plasma diambil dari pasien yang sembuh dan kemudian diinjeksikan kepadanya yang masih sakit
Seperti yang dilansir Insider, Donald Trump menilai persetujuan FDA itu adalah sebuah terobosan pengobatan virus corona.
Baca: KSAD Pantau Pemenuhan Kebutuhan Untuk Penanganan Covid-19, Termasuk Stok Plasma Konvalesen
Baca: Letnan II Infanteri Hendri Ikhlas Donor Plasma Darah: Semoga bisa Bermanfaat
Namun, seperti yang dilaporkan AP, FDA sebelumnya telah memperingati penggunaan plasma darah seharusnya tidak dijadikan standar baru pengobatan pasien Covid-19.
Otorisasi darurat ini mengurangi hambatan birokrasi untuk menyebarkan pengobatan, yang telah dicoba pada sekitar 53.000 pasien di AS.
Namun, hal itu juga akan membuat lebih sulit untuk menentukan apakah pengobatan tersebut benar-benar berhasil, sehingga peneliti hanya memiliki bukti anekdot.
"Tanpa uji coba terkontrol secara acak, sangat sulit untuk memastikan bahwa plasma yang dimilki pasien sembuh benar berfungsi," kata Dr. W. Ian Lipkin.
Lipkin telah memimpin uji klinis pengobatan di Universitas Columbia, kepada The New York Times awal bulan ini.
Tetapi pemerintahan Trump dinilai telah menekan FDA untuk mengizinkan penggunaan plasma.
Hal itu dianggap sebagai senjata kemenangan dalam perang melawan COVID-19 menjelang pemilu 2020.
Dr. Luciano Borio, seorang ahli kesehatan masyarakat yang bertugas di Dewan Keamanan Nasional di bawah Trump, mengatakan kepada Times bahwa menyetujui pengobatan akan menjadi tanda FDA "menyerah pada tekanan politik."
Sebelum FDA mengeluarkan persetujuan itu pada hari Minggu, Presiden Donald Trump dinilai menekan FDA.
Ia mengunggah cuitan di Twitter menyebut "keadaan dalam, atau siapa pun, di FDA menghalangi upaya untuk menemukan obat untuk COVID-19."
"Jelas, mereka berharap untuk menunda keputusan sampai setelah 3 November."
Seperti yang dilaporkan CNBC pada hari Minggu, pemerintahan Trump juga dilaporkan berusaha mempercepat persetujuan vaksin eksperimental sebelum pemilihan November.
Benarkah Plasma Darah Pasien Sembuh Virus Corona Bisa Obati Covid-19? Ahli Beri Penjelasan
Pejabat kesehatan senior di Wuhan, China meminta pasien sembuh dari virus corona (penyintas) untuk menyumbangkan plasma darah mereka.
Plasma darah tersebut diyakini memproduksi antibodi alami untuk mengobati mereka yang masih sakit.
Dikutip Tribunnews dari NY Times, Dokter Zhang Dingyu, direktur Rumah Sakit Jinyintan di Wuhan, mengajukan permohonan itu pada Kamis (13/2/2020).
Permohonan diajukan setelah para peneliti China mengatakan mereka percaya, perawatan antibodi semacam itu bisa membantu orang pulih dari Covid-19.
Pencarian dan pengembangan obat untuk virus corona telah membuat peneliti merasa frustrasi.
Baca: Harga Masker di Indonesia Jadi Sorotan Media Asing, Disebut Lebih Mahal Ketimbang Emas
Baca: Pengakuan Pasien Sembuh dari Virus Corona: Ini Lebih Seperti Pilek Berat
Pasalnya, kasus infeksi dan jumlah kematian terus meningkat.
Terkait hal itu, pemerintah telah meresepkan kombinasi obat antivirus dan obat tradisional China.
Namun, Grup Nasional Biotec China, sebuah perusahaan milik negara di bawah Kementerian Kesehatan, telah melaporkan temuan baru.
Mereka mengatakan pemberian serangkaian antibodi manusia dari yang penyintas kepada pasien yang tengah sakit, bisa menyebabkan tingkat peradangan turun secara signifikan, setelah 12 tahun menjadi 24 jam perawatan.
Namun, apakah ini merupakan cara yang tepat?
Dilansir Live Sciene, para ahli mengatakan pendekatan tersebut merupakan cara logis dan menjanjikan bagi pasien Covid-19 yang parah.
Tapi, menurut para ahli, dokter harus ekstra waspada untuk kemungkinan efek sampingnya.
Antibodi merupakan protein yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan 'penjajah', seperti virus, bakteri atau zat asing lainnya.
Baca: Seorang Perawat di Rumah Sakit Kota Sagamihara Jepang Positif Terinfeksi Virus Corona
Baca: China Bantah Tidak Transparan Umumkan Jumlah Korban Virus Corona
Meski begitu, dibutuhkan waktu bagi tubuh untuk meningkatkan produksi antibodi yang bisa menjadi obat baru.
Apabila virus atau bakteri mencoba menyerang lagi di masa mendatang, tubuh akan mengingat dan secara cepat menghasilkan pasukan antibodi.
Penyintas Covid-19 masih memiliki antibodi terhadap virus corona dalam darah mereka.
Menyuntikkan antibodi dari darah mereka pada orang yang sakit, secara teoritis bisa membantu pasien melawan infeksi lebih baik.
Dengan kata lain pengobatan ini akan mentransfer kekebalan tubuh penyintas pada pasien sakit.
Benjamin Cowling, profesor epidemionologi di Universitas Hong Kong, mengatakan pendekatan serupa juga pernah dilakukan saat pandemi flu.
"Saya senang mengetahui bahwa plasma dari pasien yang telah sembuh sedang diuji," ujar Carol Shoshkes Reiss, profesor biologi dan ilmu saraf di Universitas New York.
Namun, Reiss menyebutkan, para ahli dan dokter perlu mengendalikan kemungkinan efek dari pengobatan tersebut.
Meski begitu, tak semua orang yakin, menggunakan plasma darah penyintas pada pasien terjangkit Covid-19 merupakan hal masuk akal.
"Saya pikir perawatan teoretis ini adalah ide bagus."
Baca: Berjuang Melawan Maut, Pasien Korban Virus Corona Akhirnya Meninggal di Taiwan
Baca: Pengakuan Mengejutkan Pasien yang Sembuh dari Virus Corona
"Tapi lebih baik kita melakukan prosedur normal untuk memastikan bahwa perawatannya aman dan efektif, sebelum diuji coba pada orang," tutur Dokter Eric Cioe-Pena, direktur kesehatan global di Northwell Health, New York.
"Saya pikir kita harus melakukan proses ilmiah untuk melanjutkan dan mencoba mempelajari perawatan ini sebelum memberlakkannya."
"Terutama pada virus yang tingkat kematiannya rendah," imbuh dia.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie/Pravitri Retno W)