Aksi Protes di Thailand: Plakat Menentang Raja Dicopot, Demonstran yang Memasangnya Akan Dihukum
Plakat yang dipasang oleh para demonstran yang bertuliskan, "Thailand adalah milik rakyat, bukan milik raja" dicopot.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Sri Juliati
Namun aksi unjuk rasa itu berubah secara mengejutkan pada bulan berikutnya ketika mereka mulai memasukkan seruan untuk reformasi monarki.
Keluarga kerajaan Thailand telah lama terlindung dari kritik di bawah undang-undang lese-majeste di mana orang yang melakukan protes dapat dihukum hingga 15 tahun penjara.
Pada bulan Agustus, para pengunjuk rasa melanggar tabu itu.
Dalam satu aksi demonstrasi, seruan 10 poin untuk reformasi monarki dibacakan.
Demonstran Didominasi Anak Muda
Pemuda Thailand berada di antara ribuan orang di jalan-jalan Bangkok minggu lalu dalam salah satu aksi protes anti-pemerintah terbesar yang pernah terjadi di ibu kota selama bertahun-tahun, meskipun ada larangan diadakannya pertemuan besar karena virus corona.
Namun mereka mengatakan akan terus memprotes jika tiga tuntutan utama mereka tidak dipenuhi.
Tiga tuntutan mereka yaitu agar parlemen dibubarkan, agar konstitusi ditulis ulang, dan agar pihak berwenang berhenti melecehkan para kritikus.
Pemuda yang kecewa
Thailand memiliki sejarah panjang soal kerusuhan dan protes politik.
Tetapi gelombang baru dimulai pada Februari tahun ini, setelah partai politik oposisi populer diperintahkan untuk dibubarkan.
Pada Maret 2019, pemilihan umum pertama terjadi sejak militer merebut kekuasaan pada tahun 2014.
Bagi banyak anak muda dan pemilih pemula, ini dipandang sebagai peluang untuk perubahan setelah bertahun-tahun pemerintahan militer.
Tetapi militer telah mengambil langkah-langkah untuk memperkuat peran politiknya.