Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Polwan Penjaga Perdamaian di Afrika: Sempat Cemas Disandera Kelompok Bersenjata

"Dulu memang ingin ikut program internasional, ingin punya pengalaman lebih di kepolisian. Tahun 2018 dibuka peluang ini, langsung mendafatar

Editor: Rachmat Hidayat
zoom-in Kisah Polwan Penjaga Perdamaian di Afrika: Sempat Cemas Disandera Kelompok Bersenjata
TRIBUN JOGJA
Briptu Hikma Nur Syafa Atun, Polwan asal Bantul, Yogyakarta 

Laporan wartawan tribun jogja, Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, SLEMAN- Beberapa waktu lalu wajah Briptu Hikma Nur Syafa Atun sempat mencuri perhatian di jagat maya. Selain karena parasnya yang ayu, ia merupakan petugas penjaga perdamaian PBB di Afrika Tengah. Tepatnya di Bangui.

Polwan yang bertugas di Satlantas Polres Bantul tersebut bergabung dengan Formed Police Unit (FPU) bersama dengan 139 polisi lainnya. Dari 139 polisi, 14 di antaranya adalah Polwan.

Briptu Hikma Nur Syafa Atun
Briptu Hikma Nur Syafa Atun, Polwan asal Bantul, Yogyakarta petugas penjaga perdamaian PBB di Bangui, Afrika Tengah

Ima, sapaan akrabnya menceritakan, sejak menjadi Polwan 2013 lalu, ia bercita-cita untuk mendapatkan program tugas luar negeri. Gayung bersambut, pada tahun 2018 dibuka peluang misi tersebut. Tak ingin mengabaikan peluang, ia pun mencoba mendaftar.

Baca juga: DK PBB Sahkan Resolusi Indonesia Tentang Perempuan Penjaga Perdamaian Dunia

Untuk menjalankan misi kemanuasiaan tersebut, perempuan berusia 26 tahun itu terpaksa berpisah dengan orangtuanya. Selama 15 bulan, Ima hanya bisa berkomunikasi via telepon.

"Dulu memang ingin ikut program internasional, ingin punya pengalaman lebih di kepolisian. Tahun 2018 dibuka peluang ini, langsung mendafatar, dan menjalani tes. Berangkat tanggal 27 Juni 2019,dari Polda DIY ada dua yang bertugas. Orangtua sangat mendukung, perasaan khawatir pasti ada, tetapi tetap mendukung,"tuturnya, Selasa (03/11).

Kehidupan di sana tidak mudah, ia dan teman-temannya harus membangun tenda dari nol. Anak kedua dari dua bersaudara ini harus merasakan panas dan hujan selama tiga bulan di dalam tenda.

Baca juga: Wanita Surabaya Tipu Pengusaha Distributor BBM Industri Solo hingga Rp 15 Miliar

Cuaca hanya masalah sepele baginya, karena ada kelompok bersenjata yang harus dihadapinya.Bahkan ia pernah menjadi korban penyanderaan kelompok bersenjata tersebut. Namun dengan kemampuan komunikasi dan negosiasi yang baik, ia dan teman-temannya dibebaskan.

Berita Rekomendasi

"Tugas kami di sana cukup berat, karena kami yang pertama membangun kepercayaan mereka (warga Bangui). Sempat tersandera dalam mobil, tetapi dengan komunikasi yang baik, kami berikan pengertian akhirnya kami dibebaskan,"ungkapnya.

Briptu Hikma Nur Syafa Atun, Polwan asal Bantul
Briptu Hikma Nur Syafa Atun, Polwan asal Bantul, Yogyakarta

Pengalaman disandera ternyata bukan satu-satunya pengalamannya bersingungan langsung dengan kelompok bersenjata.

Baca juga: Ditemukan Tewas di Sumur, Guru Ngaji di Bogor Sempat Kirim Pesan untuk Menyemangati Suaminya

"Saat itu kelompok sedang melakukan patroli, kemudian terjadi baku tembak, dan kami berada di tengah baku tembak itu. Tentu ada perasaan cemas, tetapi akhirnya kami semua bisa kembali dengan selamat,"sambungnya.

Meski terkesan sangar saat menenteng senjata, sosok perempuan kelahiran Bantul, 01 Agustus 1994 tersebut sangat dekat dengan anak-anak di Bangui. Banyak foto kedekatannya dengan anak-anak Bangui yang dibagikan melalui sosial media pribadinya.

Setelah kepulangannya dari Bangui pada September lalu, Ima harus kembali beradaptasi dengan Indonesia. Selisih enam jam membuatnya sedikit kesulitan mengatur pola tidur.

"Perbedaan waktu enam jam, harus adaptasi lagi. Sempat sulit mengatur pola tidur, tetapi saat ini sudah normal lagi,"ujarnya.

Baca juga: Ditemukan Tewas di Sumur, Guru Ngaji di Bogor Sempat Kirim Pesan untuk Menyemangati Suaminya

Ia mengaku pengalaman selama di Bangui, Afrika Tengah sangat berharga. Jika dibandingkan dengan Indonesia, keadaan di Bangui sangat memprihatinkan.

"Harus lebih banyak bersyukur, kalau dibandingkan dengan Indonesia sangat jauh. Di sana tidak ada sekolah, untuk makan dan minum susah. Kadang meraka kalau ketemu kami tidak minta barang, tetapi minta makanan. Anak-anak dikasih permen, biskuit saja sudah senang sekali, makanya kami dekat dengan anak-anak,"tambahnya.

"Kami tidak tega, makanya kami sering berbagi makanan dengan mereka. Orang Indonesia dikenal sebagai orang baik. Bahkan saat kami pulang anak-anak sampai menangis, tidak mau ditinggal. Sampai sekarang ada beberapa yang masih berkomunikasi dengan whatsapp,"tutupnya.

Sumber: Tribun Jogja
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas