Muncul Laporan Perkosaan Massal kepada Muslim Uighur di China, AS Serukan Investigasi
Amerika Serikat merasa 'sangat terganggu' soal laporan pemerkosaan sistematis dan pelecehan seksual terhadap wanita Muslim Uighur di Xinjiang, China.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat merasa 'sangat terganggu' soal laporan pemerkosaan sistematis dan pelecehan seksual terhadap wanita Muslim Uighur di Xinjiang, China.
Departemen Luar Negeri AS pada Rabu (3/1/2021) menyerukan bahwa China harus menerima konsekuensi dari kekejaman tersebut.
Diketahui warga etnis Uighur dan Muslim ditempatkan di kamp-kamp khusus oleh pemerintah Tiongkok.
BBC pada Rabu (3/2/2021) menulis laporan soal adanya pemerkosaan, pelecehan seksual, dan penyiksaan yang dialami wanita di dalam kamp tersebut.
"Beberapa mantan tahanan dan seorang penjaga mengatakan kepada BBC bahwa mereka mengalami atau melihat bukti dari sistem pemerkosaan massal, pelecehan seksual, dan penyiksaan yang terorganisir," cuplikan laporan itu.
Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengaku prihatin dan terganggu dengan laporan itu.
"Kami sangat terganggu oleh laporan, termasuk kesaksian langsung, pemerkosaan sistematis dan pelecehan seksual terhadap wanita di kamp-kamp interniran untuk etnis Uighur dan Muslim lainnya di Xinjiang," katanya dikutip dari CNA.
Baca juga: Twitter Kunci Akun Kedubes AS di China Karena Membela Kebijakan China Terhadap Muslim Uighur
Baca juga: AS Tuduh China Melakukan Genosida Terhadap Muslim Uighur dan Etnis Minoritas Lainnya
Juru bicara itu mengulangi tuduhan AS bahwa China melakukan kejahatan kemanusiaan dan genosida di Xinjiang.
"Kekejaman ini mengejutkan hati nurani dan harus dihadapi dengan konsekuensi serius," tegasnya.
Menurutnya, China harus mengizinkan penyelidikan independen dari pihak internasional terhadap dugaan pemerkosaan terorganisir ini.
Sekali lagi Beijing membantah tuduhan tersebut.
Pihaknya mengatakan kamp didirikan untuk pelatihan kejuruan dan menghilangkan paham ekstremisme serta separatisme Islam.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin menilai laporan BBC itu tidak benar.
Wenbin menuduh orang yang diwawancarai dalam laporan terbukti sebagai penyebar informasi palsu.