Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sedikitnya 70 Orang Tewas Sejak Kudeta Militer Berjalan di Myanmar

Laporan tersebut langsung mendapat perhatian khusus dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC), dan menjadi bahasan penting dalam pertemuan di Jenewa.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Sedikitnya 70 Orang Tewas Sejak Kudeta Militer Berjalan di Myanmar
MYITKYINA NEWS JOURNAL via Sky News
Suster Ann Roza Nu Tawng, seorang biarawati di Myitkyina, Myanmar, berlutut di hadapan sejumlah aparat yang juga ikut berlutut. Suster Ann Roza memohon kepada aparat Myanmar agar tak menembaki para pengunjuk rasa pada Senin, 8 Maret 2021. Namun, terdengar tembakan dengan dua orang dikonfirmasi tewas. 

TRIBUNNEWS.COM, YANGON - Pakar hak asasi manusia PBB di Myanmar pada hari Kamis (11/3/2021) melaporkan bahwa telah ada 70 orang korban tewas di Myanmar dalam rangkaian unjuk rasa menentang kudeta militer yang terjadi 1 Februari lalu.

Laporan tersebut langsung mendapat perhatian khusus dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC), dan menjadi bahasan penting dalam pertemuan di Jenewa.

"Laporan yang dapat dipercaya menunjukkan bahwa, hingga hari ini, pasukan keamanan Myanmar telah membunuh sedikitnya 70 orang," ungkap perwakilan PBB di Myanmar, Thomas Andrews.

Baca juga: Pengakuan Demonstran Myanmar Dipukuli dengan Senapan dan Ditembak Jarak Dekat: Itu Seperti Neraka

Dalam laporannya di depan UNHRC, Andrews mengungkap bahwa junta menahan lusinan hingga ratusan orang setiap harinya.

Sejak 1 Februari, lanjutnya, jumlah penangkapan dan penahanan sewenang-wenang telah meningkat melebihi 2.000 kasus.

"Kekerasan terhadap pengunjuk rasa, termasuk kekerasan terhadap orang-orang yang duduk dengan tenang di rumah mereka, terus meningkat," ungkap Andrews, seperti dikutip dari Kyodo.

Laporan yang dapat dipercaya menunjukkan bahwa, hingga hari ini, pasukan keamanan Myanmar telah membunuh sedikitnya 70 orang," ungkap perwakilan PBB di Myanmar, Thomas Andrews.

BERITA REKOMENDASI

Dalam laporannya di depan UNHRC, Andrews mengungkap bahwa junta menahan lusinan hingga ratusan orang setiap harinya.

Sejak 1 Februari, lanjutnya, jumlah penangkapan dan penahanan sewenang-wenang telah meningkat melebihi 2.000 kasus.

"Kekerasan terhadap pengunjuk rasa, termasuk kekerasan terhadap orang-orang yang duduk dengan tenang di rumah mereka, terus meningkat," ungkap Andrews, seperti dikutip dari Kyodo.

Baca juga: Satu Demonstran Antikudeta Militer Tewas di Myanmar

Sebagai pelapor khusus untuk PBB, Andrews mengatakan koordinasi internasional akan menjadi kunci dalam menjatuhkan sanksi secara efektif pada Myanmar. Ia juga meminta agar negara lain untuk tidak mendukung rezim militer sebagai pemerintah yang sah.

"Orang-orang Myanmar tidak hanya membutuhkan kata-kata dukungan tetapi juga tindakan suportif. Mereka membutuhkan bantuan komunitas internasional sekarang," lanjut Andrews.

Negara-negara besar di Dewan Keamanan PBB kini juga berseberangan terkait sikap kepada Myanmar. AS telah memberlakukan sanksi sepihak terhadap Myanmar. Sementara China dan Rusia tidak mengikutinya dengan alasan bahwa kudeta tersebut merupakan bagian dari urusan dalam negeri Myanmar.

Pada hari Rabu (10/3), Dewan Keamanan PBB mengeluarkan pernyataan yang mengutuk penggunaan kekerasan oleh militer dalam menindak pengunjuk rasa. Mereka mendesak militer untuk sepenuhnya menahan diri.

Dewan Keamanan PBB memberi dukungan kepada Myanmar untuk transisi menuju sistem demokrasi dan menekankan perlunya menghormati hak asasi manusia dan kebebasan fundamental serta menegakkan supremasi hukum.

Sumber: Kontan

PBB: 70 orang tewas sejak kudeta militer berjalan di Myanmar

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas