Detik-detik Penghancuran Kantor Media di Jalur Gaza, Israel Hanya Beri Waktu Sejam Evakuasi
Israel mengklaim gedung itu jadi target militer yang sah karena dijadikan pusat pengumpulan intelijen dan tujuan lain oleh kelompok Hamas.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Al-Sayed, yang telah meliput pemboman Israel untuk Al Jazeera dan telah bekerja untuk AP, mengatakan dia tidak dapat memahami ancaman apa yang dapat ditimbulkan oleh sebuah bangunan yang menampung keluarga dan kantor pengacara, dokter, dan pekerja media.
“Di mana Hamas atau anggota militer lainnya yang mungkin berada di gedung ini? " tanya warga Gaza itu.
“Orang-orang di sini, para penghuni, semuanya saling kenal. Lima lantai pertama adalah untuk kantor yang (tutup) selama masa eskalasi ini. Jadi pada dasarnya yang (masih di sini) adalah dua kantor media Al Jazeera dan AP dan tempat tinggal,” bebernya.
Namun, pada pukul 3.12 sore waktu setempat (12:12 GMT), serangan Israel pertama datang. Lima menit kemudian, menara Al Jalaa runtuh dihantam tiga rudal.
“Kenangan bertahun-tahun, bertahun-tahun bekerja di gedung ini, tiba-tiba semuanya menjadi puing-puing,” kata al-Kahlout, tentang menara yang atapnya sering ia pancarkan. "Lenyap begitu saja," imbuhnya.
Islam az-Zaeem, seorang pengacara yang bekerja di gedung itu, sedang berada di rumah ketika sepupunya, pemilik gedung Johara yang diratakan pada 13 Mei, mengetuk pintu rumahnya.
Ia memberitahu al-Jalaa akan dihancurkan. "Saya berlari ke gedung dan melihat penghuni dan karyawan lainnya berkumpul di luar," kata az-Zaeem kepada Al Jazeera.
“Saya masuk ke dalam dan naik tangga karena listrik padam dan elevator tidak berfungsi. Saya histeris, dan jatuh beberapa kali dalam kegelapan, berteriak dan menangis," kenangnya.
Az-Zaeem, yang mengatakan 9 partner pengacara dan 4 tenaga magang bekerja di lantai yang disewanya, meninggalkan gedung lima menit sebelum diratakan.
“Bahkan setelah gedung itu runtuh, saya terus berteriak saya lupa mengunci pintu kantor saya,” katanya. "Bayangkan itu," pekiknya emosional.
Bangunan itu, dibangun pada pertengahan 1990-an, adalah salah satu gedung tinggi tertua di Kota Gaza.
Fares al-Ghoul, Direktur Eksekutif Mayadeen Media Group, mengatakan perusahaannya sebelumnya berbasis di gedung Shorouq, yang dihancurkan rudal Israel pada 13 Mei.
"Lantai atas Shorouq menjadi sasaran perang 2014," katanya.
“Pada 2019, kami memindahkan perusahaan ke gedung al-Jalaa karena menurut kami akan lebih aman, karena menampung kantor-kantor agensi media internasional.”
“Sekarang keduanya telah dihancurkan,” katanya.
Usaha Israel Menutup Liputan di Jalur Gaza
Pemboman al-Jalaa, yang secara luas dikutuk sebagai upaya untuk membungkam wartawan yang meliput serangan Israel, terjadi hanya beberapa jam setelah serangan udara Israel ke kamp pengungsi Shati menewaskan 10 anggota keluarga yang sama.
Ada 8 anak, dua wanita yang merayakan Idul Fitri, tewas akibat serangan itu. Laporan terkini, setidaknya 145 warga Palestina, termasuk 39 anak-anak, tewas di Jalur Gaza sejak serangan udara Israel dimulai Senin lalu.
Sekitar 950 lainnya terluka. Kekerasan terjadi setelah rencana Israel untuk secara paksa memindahkan keluarga Palestina dari Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur.
Konflik disusul bentrok yang meluas ke kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, Tepi Barat yang diduduki, dan di dalam Israel.
Hamas yangberkuasa di Jalur Gaza, menembakkan ratusan roket ke Israel sebagai tanggapan atas tindakan keras Israel itu. Sedikitnya sembilan orang juga tewas di Israel.
Sesudah menara Al Jalaa hancur lebur, keluarga dan jurnalis yang semula berkantor di bangunan itu, mendekati reruntuhan.
Berharap bisa menyelamatkan beberapa barang mereka yang terkubur di bawah reruntuhan.
“Satu orang kembali untuk mencari beberapa lukisan yang dibuat oleh putrinya karena lukisan-lukisan ini membawa banyak kenangan,” kata al-Kahlout.
Jurnalis ini melanjutkan laporannya dari jalan-jalan di daerah kantong yang dibombardir.
“Kami pindah ke luar dan sekarang menerapkan rencana darurat kami untuk pelaporan. Kami mencoba untuk aman. Tidak ada tempat yang aman di Gaza tetapi kami berusaha melakukan yang terbaik,” katanya.
Beberapa jurnalis lain, termasuk Al Sayeed, berusaha menuju Rumah Sakit al-Shifa di Jalur Gaza, yang diyakini jadi tempat aman untuk menyiarkan.
“Saya bekerja di tempat itu dan hati saya hancur melihatnya runtuh. Itu tragis. Di setiap tempat baik kami bekerja atau tinggal, kami memiliki kenangan yang luar biasa, ”tambahnya.
“Di Gaza, bukan hal mudah mendapatkan apartemen, dan sekarang hanya dalam hitungan menit, mereka kehilangan segalanya,” kata al Sayeed.
“Kata-kata tidak dapat menggambarkan jumlah kehancuran, tidak dapat menggambarkan tragedi yang dialami orang-orang itu,” imbuhnya.(Tribunnews.com/Aljazeera/xna)