Kisah Sedih di Myanmar: Jutaan Orang Berjuang agar tidak Kelaparan
Ekonomi nasional dan sistem perbankan telah lumpuh sejak perebutan kekuasaan oleh militer yang mengkudeta pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada Februa
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
Kenaikan harga telah menghantam daerah terpencil, terutama di dekat perbatasan China di negara bagian Kachin, beras hampir 50 persen lebih mahal, menurut WFP.
Biaya pengangkutan hasil bumi dari peternakan ke kota-kota juga melonjak setelah diperkirakan kenaikan harga bahan bakar 30 persen sejak kudeta.
WFP memperkirakan bahwa dalam enam bulan ke depan, sebanyak 3,4 juta lebih orang akan kelaparan di Myanmar dan pihaknya bersiap untuk tiga kali lipat bantuan makanan darurat.
Program donasi makanan masyarakat akar rumput terbukti sangat diminati di Yangon, ibukota komersial Myanmar.
"Mereka senang ketika kami menyumbangkan makanan. Beberapa bahkan menangis," kata relawan May, bukan nama sebenarnya, kepada AFP.
Ni Aye, 51 tahun, mengatakan dia dan suaminya sekarang tidak memiliki penghasilan sama sekali.
"Kami berada dalam kesulitan ... Jika kondisi ini terus berlanjut kami akan kelaparan," katanya kepada AFP.
Aung Kyaw Moe, 47 tahun, sedang mempertimbangkan untuk kembali ke desa asalnya setelah pabrik Yangon, tempat dia bekerja sudah ditutup.
Dia mengatakan kepada AFP, dirinya tidak punya uang dan putus asa tentang bagaimana menghidupi keluarganya yang berjumlah sembilan orang.
"Semuanya di luar kendali kami," katanya kepada AFP. (AFP/Channel News Asia)