Presiden AS Joe Biden Bertemu Presiden Afghanistan Ashraf Ghani Jumat Nanti, Ini Tanggapan Taliban
Presiden AS Joe Biden dan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani akan membahas penarikan pasukan dan bantuan AS di Gedung Putih Jumat mendatang
Editor: hasanah samhudi
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat Joe Biden akan bertemu dengan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dan Dr Abdullah Abdullah, Ketua Dewan Tinggi untuk Rekonsiliasi Nasional Afghanistan, di Gedung Putih pada 25 Juni.
Pertemuan akan membahas penarikan pasukan AS di tengah gelombang pertempuran antara pasukan Afghanistan dan Taliban di seluruh negeri.
Gedung Putih dalam pernyataannya Minggu (20/6) mengatakan, dalam pertemuan tatap muka pertama mereka, Biden akan berusaha meyakinkan Ghani dan Abdullah tentang dukungan AS untuk rakyat Afghanistan termasuk bantuan diplomatik, ekonomi dan kemanusiaan.
Biden juga akan mengulangi janjinya untuk memastikan bahwa negara itu tidak pernah menjadi tempat yang aman bagi kelompok-kelompok bersenjata.
“Kunjungan Presiden Ghani dan Dr Abdullah akan menyoroti kemitraan abadi antara Amerika Serikat dan Afghanistan saat penarikan militer berlanjut,” kata Gedung Putih.
Baca juga: Pemerintah Afghanistan dan Taliban Kembali Bertemu di Doha Bicarakan Perdamaian yang Sempat Mandek
Pertemuan itu terjadi pada saat kritis ketika pertempuran antara pasukan keamanan Afghanistan dan pejuang Taliban telah meningkat.
Biden mengumumkan pada April bahwa semua pasukan AS di Afghanistan akan ditarik sebelum 11 September, mengakhiri perang terpanjang Amerika setelah hampir 20 tahun konflik. Penarikan pasukan dimulai pada 1 Mei.
Ia menambahkan bahwa Washington berkomitmen untuk mendukung rakyat Afghanistan dengan memberikan bantuan diplomatik, ekonomi dan kemanusiaan.
"Amerika Serikat akan tetap terlibat secara mendalam dengan pemerintah Afghanistan untuk memastikan negara itu tidak pernah lagi menjadi tempat yang aman bagi kelompok teroris yang menimbulkan ancaman bagi tanah air AS," katanya.
Namun, Taliban telah melakukan kampanye selama berbulan-bulan untuk memperluas pengaruhnya di seluruh negeri saat AS mulai menarik pasukan dan menutup beberapa pangkalan dan menyerahkannya kepada pemerintah Afghanistan.
Baca juga: Taliban Umumkan Gencatan Senjata Tiga Hari untuk Hormati Idul Fitri
Sejak AS mengumumkan rencana pada bulan April untuk menarik semua pasukannya, setidaknya 30 distrik telah direbut oleh Taliban.
Menanggapi rencana pertemuan ini, Taliban mengatakan kunjungan itu akan "tidak berguna".
"Mereka (Ghani dan Abdullah) akan berbicara dengan pejabat AS untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingan pribadi mereka," kata juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid. “Itu tidak akan menguntungkan Afghanistan.”
Tidak ada reaksi langsung dari kantor Ghani tetapi seorang pejabat senior Afghanistan mengatakan Presiden Afghanistan akan mencari jaminan dari AS atas dukungannya yang berkelanjutan untuk pasukan keamanan Afghanistan setelah penarikan.
Kunjungan itu juga akan berlangsung saat lambatnya kemajuan dalam pembicaraan antara Taliban dan perwakilan pemerintah Afghanistan di Qatar.
Baca juga: Pasukan Afghanistan-Taliban Saling Serang Jelang Batas Waktu Penarikan Pasukan AS yang Semakin Dekat
Para pejabat telah menyuarakan keprihatinan atas negosiasi yang macet dan mengatakan Taliban belum mengajukan proposal perdamaian tertulis yang dapat digunakan sebagai titik awal untuk pembicaraan substantif.
Pada bulan Mei, analis intelijen AS merilis sebuah penilaian bahwa Taliban “akan banyak mundur” dari kemajuan yang dibuat dalam hak-hak perempuan Afghanistan jika kelompok itu mendapatkan kembali kekuatan nasional.
Taliban mengatakan pada hari Minggu bahwa pihaknya akan tetap berkomitmen untuk pembicaraan damai tetapi bersikeras bahwa "sistem Islam yang asli" di Afghanistan adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri perang dan memastikan hak - termasuk bagi perempuan.
“Sistem Islam yang asli adalah cara terbaik untuk solusi semua masalah Afghanistan,” kata salah satu pendiri dan wakil pemimpin Taliban Mullah Abdul Ghani Baradar. (Tribunnews.com/TST/Aljazeera/Hasanah Samhudi)