Intelijen Awasi Ancaman Al-Qaeda Terhadap AS Setelah Taliban Kuasai Afghanistan
Pejabat tinggi keamanan AS khawatir ancaman Al Qaeda dari Afghanistan setelah Taliban menguasai negara itu
Editor: hasanah samhudi
TRIBUNNEWS.COM - Pejabat tinggi keamanan Amerika Serikat khawatir akan potensi ancaman Al Qaeda terhadap AS setelah pasukan AS ditarik dari Afghanistan.
Direktur Pusat Kontraterorisme Nasional AS (USNCC), Christine Abizaid, mengatakan kepada Komite Senat bahwa badan intelijen AS sedang mengevaluasi kembali ancaman yang berkembang pesat dari kelompok-kelompok pejuang di Afghanistan.
“Afghanistan adalah lingkungan yang sangat dinamis saat ini,” kata Abizaid kepada Komite Keamanan Dalam Negeri Senat, Selasa (21/9/2021), seperti dilansir dari Al Jazeera.
USNCC, yang dibentuk Kongres pada tahun-tahun setelah serangan al-Qaeda 11 September, bertanggung jawab untuk mengumpulkan informasi dari semua agen mata-mata AS tentang potensi ancaman terhadap AS dari Al Qaeda dan kelompok-kelompok seperti Negara Islam di Provinsi Khorasan, ISKP ( ISIS-K).
“Kita harus memantau dan menilai apakah itu akan terjadi lebih cepat daripada yang kita perkirakan sebelumnya,” ujar Abizaid kepada para senator.
Baca juga: Rumornya Sudah Meninggal, Pemimpin Al-Qaeda Muncul dalam Video Peringatan 20 Tahun Serangan 9/11
Baca juga: Kemlu: RI Perlu Pahami Hubungan Taliban dengan ISIS dan Al-Qaeda Sebelum Ambil Sikap
Sebelum penarikan militer AS, CIA dan Badan Intelijen Pertahanan sebelumnya telah memperingatkan para pembuat kebijakan AS bahwa al-Qaeda akan dapat menyusun kembali kekuatan di Afghanistan dalam waktu satu sampai tiga tahun.
“Ancaman dari Afghanistan adalah prioritas utama kami dalam kaitannya dengan lanskap dinamis yang mungkin ada,” kata Abizaid.
Ia menambahkan, Al-Qaeda dan ISKP telah diturunkan menjadi ancaman regional utama selama pendudukan AS di Afghanistan.
Tetapi setelah penarikan AS bulan lalu, kata Abizaid, intelijen AS mengawasi dan mengevaluasi kemungkinan ancaman regional bangkit kembali dan terfokus ke eksternal dan ke AS.
“Kelompok ISIL (ISIS) dan afiliasinya terus mempertahankan kepentingan strategis dalam melakukan serangan di Barat,” kata Abizaid.
Baca juga: Afghanistan: Mengapa penarikan pasukan Barat memicu kekhawatiran kembalinya al-Qaeda?
Baca juga: Kemlu: RI Perlu Pahami Hubungan Taliban dengan ISIS dan Al-Qaeda Sebelum Ambil Sikap
ISKP mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri di Bandara Kabul pada 26 Agustus.
Serangan ini menewaskan sedikitnya 175 warga Afghanistan dan 13 anggota layanan AS yang telah membantu mengevakuasi warga Afghanistan.
Tempat Berlindung
Direktur FBI Christopher Wray mengatakan kepada Senat bahwa pejabat FBI mempunyai kekhawatiran yang sama akan kemungkinan al-Qaeda mendapatkan kembali tempat berlindung yang aman di Afghanistan dan ISKP dapat beroperasi lebih bebas.
"Kami prihatin dengan apa yang akan terjadi di masa depan," kata Wray.
Menurutnya, FBI khawatir tentang peristiwa di Afghanistan yang berfungsi sebagai semacam katalis atau inspirasi untuk serangan teroris di tempat lain di kawasan itu.
Baca juga: Wakil Presiden Afghanistan Sebut Taliban, ISIS dan Al-Qaeda Tidak Ada Bedanya
Baca juga: Iran Bantah Klaim Orang Nomor 2 Al-Qaeda Tewas di Teheran
Di antara kekhawatiran FBI, kata Wray, adalah penunjukan pemimpin Taliban yang berafiliasi dengan Jaringan Haqqani ke posisi pemerintah.
Sirajuddin Haqqani, putra pendiri Jaringan Haqqani, ditunjuk sebagai menteri dalam negeri.
Khalil-ur-Rahman Haqqani, seorang pemimpin kelompok Haqqani, diangkat menjadi menteri pengungsi dalam pemerintahan sementara baru Taliban.
Sirajuddin Haqqani masuk dalam daftar "Buronan Paling Dicari" FBI sehubungan dengan pengeboman sebuah hotel di Kabul pada 2008.
AS telah menawarkan 10 juta dolar (lebih Rp 140 miliar) untuk informasi yang mengarah pada penangkapannya.
Baca juga: Bangladesh Kecam Klaim Pompeo yang Sebut Negara di Kawasan Asia Selatan sebagai Basis Baru Al-Qaeda
Baca juga: Pemerintahan Trump Akui Taliban Belum Putuskan Hubungan dengan Al-Qaeda
Presiden AS Joe Biden dan pejabat tinggi pemerintahannya berusaha membenarkan penarikan pasukan AS.
Mereka berusaha meyakinkan Kongres bahwa militer AS dan agen mata-mata akan dapat mendeteksi ancaman yang muncul kembali dari Afghanistan dan meresponsnya.
Tetapi keraguan baru muncul di antara anggota parlemen tentang kemampuan Pentagon menyusul serangan pesawat tak berawak yang gagal terhadap seorang tersangka operasi ISKP di Kabul yang menewaskan 10 warga sipil Afghanistan pada 29 Agustus.
Pejabat Pentagon mengakui pada 17 September bahwa serangan itu adalah kesalahan yang mengerikan.
Menurut Costs of War Project di Brown University, lebih dari 700 warga sipil Afghanistan telah tewas dalam serangan udara AS pada 2019 setelah militer AS melonggarkan kriteria pengizinan serangan udara.
Baca juga: Mike Pompeo Mengklaim Tanpa Bukti bahwa Iran Adalah Basis Baru Al-Qaeda
Baca juga: Al Qaeda Ancam Presiden Perancis Emmanuel Macron
Ditambahkan, diperkirakan 47.000 warga sipil Afghanistan tewas dalam perang 20 tahun AS di Afghanistan yang dimulai setelah serangan 11 September. (Tribunnews.com/Aljazeera/Hasanah Samhudi)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.