Buka Perbatasan, Singapura Bersiap Hidup Berdampingan dengan Covid-19
Singapura membuka perbatasannya ke lebih banyak negara untuk perjalanan bebas karantina.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Singapura membuka perbatasannya ke lebih banyak negara untuk perjalanan bebas karantina.
Dilansir Reuters, negara ini tengah membangun kembali statusnya sebagai pusat penerbangan internasional dan bersiap hidup berdampingan dengan Covid-19 atau new normal.
Mulai 19 Oktober, orang yang sudah divaksinasi penuh dari delapan negara, termasuk Inggris, Prancis, Spanyol, dan Amerika Serikat dapat memasuki Singapura tanpa karantina jika lolos tes Covid-19.
Hal ini disampaikan pemerintah Singapura pada Sabtu lalu.
Negara Asia Tenggara ini merupakan salah satu pusat perjalanan dan keuangan terbesar di dunia.
Baca juga: POPULER Internasional: Gempa di Tokyo Jepang | Sosok Profesor Singapura yang Puji Jokowi Jenius
Baca juga: Kasus Covid-19 Menurun, NasDem Dorong Pemerintah Fokus Ciptakan Lapangan Pekerjaan
Singapura menjadi rumah bagi kantor pusat Asia dari ribuan perusahaan global yang eksekutifnya telah lama mengandalkan konektivitas Singapura.
Negara berpenduduk 5,45 juta orang ini melaporkan rekor infeksi Covid-19 harian lebih dari 3.000 selama beberapa hari terakhir, meskipun hampir semua kasus tidak menunjukkan gejala atau ringan.
Sekitar 83% dari populasi sudah divaksinasi lengkap, menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.
Singapura baru-baru ini menerapkan kembali pembatasan virus corona untuk mengulur waktu bersiap menghadapi wabah ini.
Sayangnya langkah ini banyak menuai kritik.
Perdana Menteri Lee Hsien Loong mengatakan Singapura akan mencapai normal baru dan dapat mengurangi pembatasan ketika kasus Covid-19 sudah stabil, bahkan jika jumlahnya ratusan.
"Kami membutuhkan setidaknya tiga bulan, dan mungkin selama enam bulan, untuk sampai ke sana," kata Lee dalam pidatonya.
"Setelah lonjakan ini stabil, kita mungkin masih melihat lonjakan di masa depan, terutama jika varian baru muncul."
"Kita mungkin harus menginjak rem lagi jika kasus tumbuh terlalu cepat, untuk melindungi sistem perawatan kesehatan dan petugas kesehatan kita," kata Lee.