Sosok Vladimir Putin, Presiden Rusia yang Perintahkan Serang Ukraina, Berkuasa 22 Tahun & Kaya Raya
Presiden Rusia Vladimir Putin akhirnya benar-benar memerintahkan serangan militer ke Ukraina.
Editor: Hasanudin Aco
Pada Agustus 1999, Yeltsin menunjuk Putin sebagai perdana menteri Rusia, yang merupakan jabatan tertinggi kedua di Negeri Beruang Merah.
Lalu, tiba-tiba Yeltsin mengundurkan diri dan menunjut Putin sebagai penjabat presiden tepat di malam tahun baru 1999. Posisi itu kemudian memudahkan Putin memenangkan pemilihan presiden pada Maret 2000.
Banyak kalangan yakin Yeltsin mengangkat Putin untuk melindungi dirinya setelah popularitasnya menurun akibat perang melawan Chechnya yang ingin merdeka.
Dan benar saja, langkah pertama yang diambil Putin saat menjabat menjadi presdien adalah memaafkan Boris Yeltsin.
Tak hanya itu, Putin memberi Yeltsin imunitas dari semua jenis investigasi kriminal dan administratif termasuk melindungi semua dokumen, properti, dan hal milik Yeltsin dari pemeriksaan dan penyitaan.
Di masa jabatan pertamanya Putin fokus pada masalah dalam negeri. Ada dua hal yang menjadi prioritasnya yaitu perang di Chechnya dan menekan oligarki yang tumbuh subur di masa Yeltsin.
Putin memang menduduki kekuasaan di masa yang rumit. Rusia tengah berperang melawan Chechnya yang secara resmi merupakan negeri bawahan Rusia.
Selain itu, para pengusaha kaya di masa Yeltsin menunjukkan keinginan kuat untuk memperbesar pengaruh politik mereka.
Putin menyadari, jika dibiarkan para pengusaha kaya ini akan menjadi lebih berkuasa ketimbang seorang presiden maka dia memaksakan sebuah kesepakatan dengan mereka.
"Pada Juli 2000, Putin mengatakan kepada para pengusaha itu bahwa dia tak akan mencampuri bisnis mereka atau menasionalisasi sumber daya negara selama mereka berada di luar politik dan selama tidak menentang presiden," demikian menurut Dewan Hubungan Luar Negeri Rusia.
Bisa menyelesaikan urusan dengan para pengusaha haus kekuasaan, fokus Putin berakhir ke Perang Chechnya II yang semakin mengukuhnya dirinya sebagai "sosok yang tak gentar beraksi".
Pada 2002, sebuah teater di Moskwa diduduki 40 militan Chechnya yang dipimpin Movsar Barayev. Tak ambil pusing, Putin memerintahkan pasukan khusus menyerang.
Alhasil, dalam krisis selama tiga hari itu sebanyak 129 dari 912 sandera tewas. Selain menewaskan ratusan sandera, pasukan khusus Rusia juga menewaskan Barayev tepat di hari ulang tahunnya yang ke-23.
Ini adalah masa krisis bagi Putin dan banyak yang menduga krisis sandera ini akan menghancurkan popularitas Putin.
Namun, ternyata ketegasannya dalam menghadapi penyandera meski memakan banyak korban justur melambungkan popularitasnya. Bahkan saat itu, tingkat penerimaan Putin oleh rakyat Rusia mencapai 83 persen.
Pada 2004, Putin terpilih kembali untuk masa jabatan keduanya dan masih fokus untuk mengurusi masalah dalam negeri.
Meski sukses merebut hati rakyat, Putin menuai kritik karena upayanya memberangus kebebasan pers.
Anna Politskovskaya, seorang jurnalis, ditemukan dibunuh di lobi apartemennya pada 2006 tak lama setelah dia menulis dugaan korupsi di tubuh AD Rusia dan di saat yang sama Anna menyampaikan dukungan untuk Chechnya.
Anna tewas tepat di hari ulang tahun Putin, tetapi sang presiden membantah keterkaitannya dalam kematian jurnalis itu.
Putin bahkan berkata, kematian Anna justru menimbulkan lebih banyak masalah ketimbang tulisannya di surat kabar.
Meski demikian, negara-negara Barat tetap mengkritik Putin yang dianggap gagal melindungi kebebasan pers di Rusia.
Beberapa pekan setelah kematian Anna Politkovskaya, seorang pembelot FSB ditemukan tewas diracun di London.
Hebatnya, semua dengan semua skandal yang membuatnya dihujani kritik di luar negeri tak menggoyahkan kepercayaan rakyat Rusia kepadanya.
Selama dua masa jabatannya, GDP Rusia meningkat 70 persen dan investasi bertumbuh 125 persen. Saat itu Putin juga diuntungkan dengan tingginya harga minyak bumi yang merupakan salah satu andalan Rusia.
Menjadi perdana menteri
Pada 2008, karena sudah dua kali berturut-turut menjadi presiden Putin harus "libur" dulu dari tampuk kekuasaannya.
Saat itu, Dmitry Medvedev yang memenangkan pemilihan presiden. Sehari setelah dilantik, Medvedev menunjuk Putin sebagai perdana menteri. Lalu, datanglah krisis finansial global yang menghantam perekonomian Rusia
Ekonomi Rusia amat terdampak karena amat bergantung pada investasi asing, terutama dari negara-negara Barat.
Krisis ini juga menunjukkan betapa tergantungnya perekonomian Rusia dari minyak dan gas serta begitu berpengaruhnya politik terhadap masalah industri Rusia.
Di tahun yang sama, Rusia terlibat perang lima hari melawan Georgia terkait masalah Ossetia Selatan dan Abkhazia.
Kedua daerah itu sejak 1990-an mencoba memerdekakan diri dari Georgia dan upaya keduanya mendapat dukungan dari Rusia, sebuah langkah yang dikecam Barat.
Kini, Ossetia Selatan masih dianggap sebagai wilayah Georgia sementara Abkhazia disebut sebagai daerah yang memisahkan diri.
Kembali ke kursi presiden
Pada 2012, Putin kembali memenangkan pemilihan presiden untuk masa jabatan selama enam tahun.
Pemilihan kali ini diwarnai kontroversi karena masa jabatan ketiga banyak dipertanyakan karena dianggap tak sesuai dengan konstitusi dan pengamat menuding adanya kecurangan.
Di masa jabatannya kali ini, tepatnya pada 2012, Putin memutuskan untuk menganeksasi Semenanjung Crimea.
Langkah ini kemudian menjadi sebuah keputusan geopolitik yang rumit sekaligus kontroversial.
Sebelum terguling Presiden Ukraina Viktor Yanukovych mengirim surat kepada Putin meminta bantuan militer untuk "menegakkan hukum dan ketertiban di Ukraina".
Menurut harian The New York Times, parlemen Rusia kemudian memberi wewenang penuh kepada Putin untuk menggunakan militer dalam merespon kisruh politik di Ukraina yang menyingkirkan pemerintah pro-Kremlin yang diganti pemerintah pro-Barat.
Pemerintah Ukraina yang baru sudah mengancam akan memerangi Rusia jika negeri itu mengirim kan tentaranya. Namun, Putin bergeming dan pada 2 Maret 2014, Rusia sudah menduduki Crimea.
Langkah ini membuat Barat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia, yang dibalas Putin dengan mempererat hubungan dengan China.
Kekayaannya Rp 996 Triliun
Puluhan tahun menjadi Presiden Rusia membuat kekayaan Vladimir Putin menggunung.
Bahkan Forbes pada tahun 2019 menjelaskan kekayaan Putin mencapai Rp 996 triliun .
Putin dikenal glamor.
Istana dan tempat tinggalnya bahkan beberapa kali disorot karena sangat megah.
Bahkan kabarnya toilet yang dia gunakan terbuat dari emas.
Keberhasilannya memimpin Rusia juga banyak diapresiasi.
Pada 2007, dia diangkat menjadi "Tokoh Tahun Ini" oleh Majalah Time.
Pada 2015, majalah yang sama menempatkannya dalam urutan pertama "Daftar Tokoh Paling Berpengaruh."
Majalah Forbes juga tak ketinggalan. Menempatkan Putin pada urutan pertama 'Daftar Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia" pada 2013, 2014, dan 2015.
Profesor Itsuro Nakamura (65), seorang ilmuwan politik spesialis Rusia dari Universitas Tsukuba menyebut Presiden Rusia Vladimir Putin memiliki gaji resmi sekitar 14 juta yen setahun.
Namun kekayaan sebenarnya bisa mencapai 23 triliun yen karena didukung oleh setidaknya 3 orang terdekatnya yang terkenal sangat kaya raya.
"Kekayaan Putin dari 10 orang terkaya yang paling dekat dengannya dan kekayaan sebenarnya mungkin bisa mencapai 23 triliun yen," papar Profesor Itsuro Nakamura (65) Ilmuwan politik spesialis Rusia dari Universitas Tsukuba dalam acara TV TBS, Kamis (24/2/2022) siang.
Putin Bunuh Tokoh Oposisi
Pada Agustus 2020 lalu, publik Rusia dikejutkan dengan kematian tokoh oposisi Alexei Navalny.
Diawali dengan sakit yang mendadak kemudian meninggal dunia.
Alexei Navalny kabarnya diracun oleh pemerintahan Putin.
Pasalnya, Navalny merupakan sosok yang kerap melontarkan kritik pada Kremlin dan Presiden Vladimir Putin.
Ketika ia jatuh sakit, sang penasihat langsung menaruh kecurigaan Alexei Navalny diracun, seperti diberitakan Intisari Online, Senin (24/8/2020).
Tak mengherankan, mengingat Presiden Rusia, Vladimir Putin, dilaporkan kerap menggunakan racun untuk menyerang lawan politik.
Putin adalah salah satu pemimpin negara yang kontroversial, ia terkenal 'membungkam' kritik lawan politiknya dengan racun.
Budaya membunuh rival politik dengan racun sudah lama ada di Rusia, salah satunya yang terjadi di tahun 1453.
Pada tahun itu, Dmitry Shemyaka, penasihat kerajaan Moskow, menyantap hidangan ayam untuk makan malam dan 12 hari setelahnya ia menderita dalam rasa sakit luar biasa kemudian ia meninggal.
Rupanya juru masaknya telah disuap oleh musuh politiknya dan menaruh racun di hidangannya.
Memang budaya ini sudah lama ditinggalkan, tapi ancaman ini tetap hidup terutama di era Vladimir Putin.
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com/Tribunwiki