Kata Pengamat soal Peluang China Dukung Rusia hingga Ancaman Putin untuk Negara yang Ikut Campur
Berikut tanggapan pengamat soal peluang China dukung Rusia hingga ancaman Vladimir Putin untuk negara yang ikut campur.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana ikut menanggapi terkait serangan Rusia di Ukraina sejak Kamis (24/2/2022) kemarin.
Terlebih, tentang peluang China menentukan sikapnya terkait ketegangan di Eropa Timur ini.
Hikmahanto menilai, peluang China mendukung Rusia cukup besar.
"Rusia bukan tidak mungkin di dukung China."
"Karena sampai dengan hari ini China itu tidak menyatakan tindakan yang dilakukan Presiden Putin dengan mengakui kedaluatan Donetsk dan Luhansk itu merupakan tindakan yang salah menurut hukum internasional dan harus dikutuk," ujarnya, dikutip dari Kompas TV, Jumat (25/2/2022).
Menurutnya, saat ini seluruh negara di dunia mengecam tindakan Rusia yang menyerang Ukraina.
Namun, China justru memilih netral dengan mengimbau agar persoalan Rusia-Ukraina diselesaikan secara dialog.
"Kalau China mengatakan sebaiknya negara-negara menahan diri dan menyelesaikan masalah ini dengan dialog."
"Dalam konteks seperti itu bukan tidak mungkin kalau Rusia diserang maka China akan membantu Rusia," tuturnya.
Baca juga: Indonesia Berkepentingan Menjembatani Rusia dan Ukraina Melalui Proses Diplomasi Jalan Damai
Baca juga: Upaya Perdamaian Dalam Konflik Rusia dan Ukraina Perlu Dilakukan Lewat Pendekatan Kultural
Di sisi lain, Hikmahanto juga menanggapi terkait ancaman Rusia untuk negara yang ikut campur dalam perang.
Ia beranggapan, Rusia tidak punya pilihan lain selain menghadapi negara-negara yang ikut campur.
Namun sayangnya negara-negara lain, termasuk AS dan para sekutunya, saat ini tidak memiliki legitimasi yang jelas.
"Negara-negara (yang akan ikut campur) ini harus punya legitimasi, tapi apa legitimasinya? sementara perjanjian pertahanan Ukraina tidak memiliki karena Ukraina bukan anggota NATO, mandat dari PBB juga nggak punya," ungkapnya.
Untuk itu, pilihan Barat saat ini adalah melakukan sanksi ekonomi.