AS dan Sekutu Ingin Rusia Keluar dari Anggota G20, Kehadirannya Dinilai Bermasalah
Amerika Serikat dan sekutu Baratnya sedang menilai apakah Rusia harus tetap berada dalam G20 setelah invasinya ke Ukraina.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat dan sekutu Baratnya sedang menilai apakah Rusia harus tetap berada dalam G20 setelah invasinya ke Ukraina, jelas sumber yang terlibat dalam diskusi kepada Reuters, Selasa (22/3/2022).
Namun, mengucilkan Rusia secara langsung, diperkirakan akan diveto oleh sejumlah negara lain seperti China, India, hingga Arab Saudi.
Sumber menyebut, kemungkinan ini meningkatkan keengganan sejumlah negara untuk datang di KTT G20 tahun ini.
Diketahui Presiden Rusia Vladimir Putin, berencana hadir di KTT G20 yang akan digelar di Jakarta pada akhir tahun ini.
G20 adalah kelompok yang terdiri 20 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa.
Baca juga: Presiden Rusia Vladimir Putin Berencana Hadir di KTT G20 di Indonesia
Baca juga: Meski Ditentang AS, Presiden Rusia Vladimir Putin Berencana ke Indonesia Hadiri KTT G20
Secara resmi G20 dinamakan The Group of Twenty Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Duapuluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral.
Dengan invasinya ke Ukraina, Rusia menghadapi sanksi internasional yang dipimpin negara-negara Barat untuk mengisolasinya dari ekonomi global.
Salah satunya menutup akses Moskow dari sistem bank global SWIFT dan membatasi transaksi oleh bank sentralnya.
"Ada diskusi tentang apakah pantas bagi Rusia untuk menjadi bagian dari G20," kata seorang sumber senior G7.
"Jika Rusia tetap menjadi anggota, itu (G20) akan menjadi organisasi yang kurang berguna," ujarnya, dikutip dari Reuters.
Penasihat keamanan nasional AS, Jake Sullivan, menjawab kemungkinan Presiden Joe Biden akan mendorong Rusia keluar dari G20 dalam pertemuannya di Brussels pekan ini.
"Kami percaya bahwa itu tidak bisa menjadi bisnis seperti biasa untuk Rusia di lembaga-lembaga internasional dan dalam komunitas internasional," jawabnya.
Ia mengatakan, AS berencana untuk berkonsultasi dengan sekutu sebelum membuat pernyataan soal ini.
Sumber Uni Eropa, secara terpisah, mengonfirmasi wacana soal status Rusia pada pertemuan G20 mendatang, yang saat ini dipimpin Presiden RI Joko Widodo.
"Sudah sangat jelas bagi Indonesia bahwa kehadiran Rusia pada pertemuan tingkat menteri yang akan datang akan sangat bermasalah bagi negara-negara Eropa," kata sumber tersebut.
G7 diperluas ke format 'G8', termasuk Rusia dalam anggotanya, di awal 2000-an.
Tetapi, Moskow diskors tanpa batas waktu dari kelompok itu setelah aneksasi Krimea pada 2014.
Sebelumnya pada Selasa, Polandia mengaku telah menyarankan pejabat perdagangan AS untuk mengeluarkan keanggotaan Rusia dari G20.
Pihaknya mengklaim saran itu mendapat respons positif dari AS.
Sumber dari G7 menilai, tidak mungkin Indonesia, yang saat ini memimpin G20, atau anggota seperti India, Brasil, Afrika Selatan, dan China akan setuju mengeluarkan Rusia.
"Tidak mungkin untuk menghapus Rusia dari G20 kecuali Moskow membuat keputusan seperti itu sendiri," kata seorang pejabat negara anggota G20 di Asia.
"Tidak ada prosedur untuk mencabut Rusia dari keanggotaan G20."
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo, pada Senin (21/3/2022) mengatakan dalam sebuah seminar bahwa posisi Indonesia selalu netral.
RI, menurutnya, akan menggunakan kepemimpinan G20 untuk mencoba menyelesaikan masalah.
Baca juga: Beritakan 10.000 Tentara Rusia Tewas di Ukraina, Surat Kabar Rusia Klaim Situsnya Telah Diretas
Baca juga: Salah Satu Negara Sekutu Rusia Diyakini akan Segera Ikut Perang
Dody menambahkan, Rusia memiliki komitmen yang kuat untuk hadir dalam KTT G20 dan anggota lain tidak bisa melarangnya.
Status Rusia di lembaga multilateral lainnya juga dipertanyakan.
Di Jenewa, pejabat Organisasi Perdagangan Dunia mengatakan banyak delegasi menolak bertemu rekan Rusia dalam berbagai format.
Satu sumber dari negara Barat mengatakan, mereka yang tidak terlibat dengan Rusia di WTO termasuk Uni Eropa, Amerika Serikat, Kanada dan Inggris.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)