Pemerintah India Larang Penggunaan 19 Produk Plastik Sekali Pakai
New Delhi memberlakukan larangan penggunaan 19 produk plastik sekali pakai sebagai bagian kampanye memerangi polusi, pada Jumat (1/7/2022).
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - India memberlakukan larangan penggunaan produk plastik sekali, mulai dari sedotan hingga bungkus rokok.
Dilansir Al Jazeera, langkah ini merupakan upaya New Delhi untuk memerangi polusi yang memburuk di negara berpenduduk hampir 1,4 miliar orang itu.
"Larangan produk plastik sekali pakai termasuk sedotan, peralatan makan, earbud, film kemasan, stik plastik untuk balon, permen dan es krim, dan bungkus rokok, di antara produk-produk lainnya, kata pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi dalam sebuah pernyataan pada Jumat (1/7/2022).
Untuk tahap pertama, pemerintah telah mengidentifikasi 19 produk plastik yang dikatakan tidak terlalu berguna tetapi berpotensi tinggi menjadi sampah dan larangan baru membuat produksi, impor, penyimpanan, distribusi, atau penjualannya menjadi ilegal.
Beberapa kantong plastik sekali pakai juga akan dihapus dan diganti dengan yang lebih tebal untuk mendorong penggunaan kembali.
Produsen plastik telah meminta pemerintah untuk menunda larangan tersebut, dengan alasan inflasi dan potensi kehilangan pekerjaan.
Menteri Lingkungan Federal India Bhupender Yadav mengatakan pada jumpa pers di New Delhi pada hari Jumat bahwa larangan tersebut telah direncanakan selama satu tahun.
"Sekarang, waktunya sudah habis," katanya.
Baca juga: Gerakan Ekonomi Sirkular Le Minerale Berhasil Kumpulkan 6.300 Ton Sampah Plastik dalam Setahun
Sampah plastik sumber polusi di India
Sampah plastik telah menjadi sumber polusi yang signifikan di India, negara terpadat kedua di dunia, dan pertumbuhan ekonomi yang pesat telah memicu permintaan akan barang-barang yang datang dengan produk plastik sekali pakai, seperti sedotan dan peralatan makan sekali pakai.
Ribuan produk plastik lainnya – seperti botol plastik – tidak tercakup dalam larangan tersebut. Tetapi pemerintah federal telah menetapkan target agar produsen bertanggung jawab untuk mendaur ulang atau membuangnya setelah digunakan.
Ini bukan pertama kalinya India mempertimbangkan larangan plastik. Tetapi iterasi sebelumnya berfokus pada wilayah tertentu di negara ini, menghasilkan berbagai tingkat keberhasilan.
Koordinator Asia-Pasifik dari kelompok advokasi Break Free from Plastic, Satyarupa Shekhar mengatakan larangan nasional yang mencakup tidak hanya penggunaan plastik, tetapi juga produksi atau impornya adalah “dorongan yang pasti”.
Baca juga: KLHK: Belanja Online Turut Berkontribusi Naikkan Jumlah Sampah Plastik
India hasilkan 14 juta ton plastik setiap tahun
India, yang menggunakan sekitar 14 juta ton plastik setiap tahun.
Negara ini tidak memiliki sistem yang terorganisir untuk mengelola sampah plastik, yang menyebabkan meluasnya pembuangan sampah sembarangan.
Jalan-jalan di kota-kota India dipenuhi dengan barang-barang plastik bekas yang akhirnya menyumbat saluran air, sungai dan lautan dan juga membunuh hewan.
Perusahaan seperti PepsiCo, Coca-Cola Co, Parle Agro India, Dabur dan Amul telah melobi agar sedotan dibebaskan dari larangan tersebut.
Selain perusahaan makanan dan minuman dan barang konsumsi, produsen plastik juga mengeluhkan larangan tersebut yang menurut mereka tidak memberi mereka waktu yang cukup untuk mempersiapkan pembatasan tersebut.
Beberapa ahli percaya bahwa menegakkan larangan mungkin sulit.
Baca juga: Krisis Sampah Plastik, Peran Aktif Korporasi Penting untuk Wujudkan Target Pemerintah
Ahli lingkungan sebut keberhasilan bergantung pada penerapan
Ravi Agarwal, direktur Toxics Link, sebuah kelompok advokasi berbasis di New Delhi yang berfokus pada pengelolaan sampah, mengatakan bahwa larangan itu adalah “awal yang baik”, tetapi keberhasilannya akan tergantung pada seberapa baik penerapannya.
Pemerintah telah memutuskan untuk mendirikan ruang kontrol untuk memeriksa penggunaan ilegal, penjualan dan distribusi produk plastik sekali pakai. Tetapi penegakan hukum yang sebenarnya akan berada di tangan masing-masing negara bagian dan badan kotamadya.
Menurut PBB, sampah plastik berada pada proporsi epidemik di lautan dunia, dengan perkiraan 100 juta ton dibuang di sana. Para ilmuwan telah menemukan sejumlah besar mikroplastik di usus mamalia laut yang hidup dalam seperti paus.
Dikutip NPR, sebuah studi baru-baru ini mengidentifikasi lebih dari 8.000 bahan kimia tambahan yang digunakan untuk pemrosesan plastik, beberapa di antaranya seribu kali lebih kuat sebagai gas rumah kaca daripada karbon dioksida.
Produk seperti kemasan sekali pakai, resin plastik, insulasi plastik berbusa, botol dan wadah, di antara banyak lainnya, menambah emisi rumah kaca global.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)