Pakistan Menderita Kerugian Lebih dari Rp148 Triliun akibat Banjir Bandang
Banjir dahsyat yang menimpa Pakistan mengakibatkan kerugian hingga 10 miliar dolar AS dan sekira 33 juta warga terdampak.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Perencanaan Pakistan memperkirakan kerugian awal akibat banjir bandang mencapai 10 miliar dolar AS atau sekira Rp148,5 triliun.
Menurut pemerintah, banjir besar ini telah merendam sepertiga wilayah Pakistan.
Banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya ini disebabkan oleh hujan monsun.
Sedikitnya 1.136 orang tewas dan lebih dari 33 juta warga atau 15 persen dari total populasi Pakistan terdampak.
Dilansir BBC, hujan deras merendam jalanan, tanaman, rumah-rumah warga, jembatan, dan infrastuktur lainnya.
Pemerintah pun membeberkan prakiraan awal kerugian akibat bencana alam ini.
Baca juga: Pakistan Dilanda Banjir Bandang, Lebih dari 1000 Orang Meninggal dan Ratusan Korban Dievakuasi
"Saya pikir (kerugian) akan menjadi besar. Sejauh ini, berdasarkan perkiraan yang sangat awal, (kerugian) lebih dari dari $10 miliar," kata Menteri Perencanaan Pakistan, Ahsan Iqbal kepada kantor berita Reuters.
Iqbal mengatakan, Pakistan akan menghadapi kekurangan pangan yang serius dalam beberapa pekan dan bulan mendatang.
Ia yakin banjir kali ini lebih buruk daripada tahun 2010 silam, yang menewaskan lebih dari 2.000 jiwa.
Dalam kesempatan itu, Menteri Iqbal meminta negara-negara kaya membantu Pakistan secara finansial.
Menurutnya, Pakistan adalah korban dari perubahan iklim yang terjadi sebagai imbas dari pembangunan negara maju yang tak bertanggung jawab.
Untuk mengatasi kekurangan pangan, Menteri Keuangan Miftah Ismail mengatakan Pakistan dapat mempertimbangkan impor sayuran dari India.
Senada dengan Iqbal, Menteri Perubahan Iklim Pakistan, Sherry Rehman menyebut kondisi saat ini sebagai bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh iklim.
"Secara harfiah, sepertiga wilayah Pakistan saat ini berada di bawah air, yang telah melampaui setiap batas, setiap norma yang pernah kita lihat di masa lalu," kata Rehman kepada kantor berita AFP.