Mikhail Gorbachev Meninggal Saat Kebijakan Putin Picu Perang Dingin Baru
Mikhail Gorbachev akan dimakamkan di Pemakaman Novodevichy Moskwa di sebelah istrinya Raisa yang telah lebih dulu meninggal pada 1999
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, MOSKWA - Mikhail Gorbachev, yang mengakhiri Perang Dingin tanpa pertumpahan darah namun gagal mencegah runtuhnya Uni Soviet, meninggal pada Selasa kemarin dalam usia 91 tahun.
Pernyataan ini disampaikan pejabat rumah sakit di Moskwa, Rusia.
Dikutip dari laman Reuters, Rabu (31/8/2022), Gorbachev, Presiden terakhir Soviet berhasil menjalin kesepakatan pengurangan senjata dengan Amerika Serikat (AS) dan kemitraan dengan kekuatan Barat untuk menghapus Tirai Besi yang telah membagi Eropa sejak Perang Dunia ke-2 (PD II) dan mewujudkan reunifikasi Jerman.
Namun reformasi internalnya yang luas mendorong kian melemahnya Uni Soviet sampai pada titik di mana akhirnya negara itu runtuh.
Ini merupakaan momen yang disebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai 'bencana geopolitik terbesar' abad ke-20.
Baca juga: Ukraina Gunakan Umpan Kayu Menyerupai HIMARS untuk Kelabui Rusia
"Mikhail Gorbachev meninggal (Selasa) malam ini setelah menderita penyakit yang serius dan berkepanjangan," kata Rumah Sakit Klinis Pusat Rusia dalam sebuah pernyataan.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan kepada kantor berita Interfax bahwa Putin menyatakan 'belasungkawa terdalamnya'.
"Besok (Rabu ini), ia (Putin) akan mengirim telegram belasungkawa kepada keluarga dan teman-teman (Gorbachev)," kata Peskov.
Sebelumnya pada 2018, Putin mengatakan bahwa ia berjanji akan membalikkan keruntuhan Uni Soviet jika ia bisa.
Terkait kematian Gorbachev, para pemimpin dunia pun secara cepat memberikan penghormatan terakhir.
Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan bahwa Gorbachev telah membuka jalan bagi kebebasan Eropa.
Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson mengutip invasi Putin ke Ukraina dan menyampaikan 'komitmen tak kenal lelah Gorbachev untuk membuka masyarakat Soviet tetap menjadi contoh bagi kita semua'.
Setelah beberapa dekade ketegangan dan konfrontasi Perang Dingin berlangsung, Gorbachev membawa Uni Soviet lebih dekat ke Barat dibandingkan titik manapun sejak PD II.
Namun mirisnya, ia melihat warisan itu hancur di bulan-bulan terakhir hidupnya, saat invasi ke Ukraina membawa sanksi Barat jatuh kepada Rusia, bahkan politisi di Rusia dan Barat mulai berbicara tentang terciptanya Perang Dingin baru.
Baca juga: Mikhail Gorbachev: Kegagalan Perang Amerika Karena Ide yang Buruk Sejak Awal
"Gorbachev meninggal secara simbolis saat pekerjaan hidupnya, kebebasan, secara efektif dihancurkan oleh Putin," kata rekan senior di Carnegie Endowment for International Peace, Andrei Kolesnikov.
Gorbachev telah memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada 1990.
Ia akan dimakamkan di Pemakaman Novodevichy Moskwa di sebelah istrinya Raisa yang telah lebih dulu meninggal pada 1999.
Informasi ini dikutip dari yayasan yang didirikan mantan pemimpin Soviet itu.
Saat protes pro-demokrasi melanda negara-negara blok Soviet di Eropa Timur komunis pada tahun 1989, ia justru menahan diri untuk tidak menggunakan kekuatan.
Langkahnya ini tidak seperti para pemimpin Kremlin sebelumnya yang telah mengirim tank untuk menghancurkan pemberontakan di Hongaria pada 1956 dan Cekoslovakia pada tahun 1968.
Namun protes tersebut memicu aspirasi untuk otonomi di 15 republik Uni Soviet yang hancur pada 2 tahun kemudian dengan cara yang kacau balau.
Gorbachev yang sempat digulingkan dalam kudeta Agustus 1991 oleh partai garis keras, sia-sia berjuang untuk mencegah keruntuhan itu.
"Era Gorbachev adalah era perestroika, era harapan, era masuknya kita ke dunia bebas rudal. Namun ada satu kesalahan perhitungan, kita tidak mengenal negara kita dengan baik. Persatuan kami berantakan, itu adalah tragedi," kata Vladimir Shevchenko, yang mengepalai kantor protokol Gorbachev saat Gorbachev menjadi pemimpin Soviet.
Saat menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis Soviet pada 1985, saat usianya mencapai 54 tahun, ia telah memulai untuk merevitalisasi sistem dengan memperkenalkan kebebasan politik dan ekonomi yang terbatas, namun reformasinya berputar di luar kendali.
"Ia adalah pria yang baik, saya pikir tragedinya dalam arti bahwa ia terlalu baik untuk negara yang ia pimpin," kata penulis biografi Gorbachev sekaligus Profesor Emeritus di Amherst College di Massachusetts, AS, William Taubman.
Kebijakan Gorbachev tentang 'glasnost', kebebasan berbicara memungkinkan kritik yang sebelumnya tidak terpikirkan terhadap partai dan negara.
Namun juga memberanikan kaum nasionalis yang mulai mendesak kemerdekaan di republik Baltik Latvia, Lituania, Estonia dan di tempat lainnya.
Banyak orang Rusia yang tidak pernah memaafkan Gorbachev atas gejolak yang ditimbulkan oleh reformasinya, mengingat penurunan standar hidup mereka yang selanjutnya menjadi harga yang harus dibayar untuk demokrasi.
Vladimir Rogov, seorang pejabat yang ditunjuk Rusia di bagian Ukraina yang kini diduduki oleh pasukan pro-Moskwa, mengatakan bahwa Gorbachev telah 'sengaja memimpin Uni (Soviet) menuju kehancurannya'.
Rogov bahkan menyebut Gorbachev sebagai pengkhianat.
"Ia memberi kami semua kebebasan, namun kami tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan itu," kata Ekonom Liberal Ruslan Grinberg, setelah mengunjungi Gorbachev di rumah sakit pada Juni lalu.
Sejarawan Perang Dingin Sergey Radchenko mengatakan bahwa Gorbachev hidup untuk melihat beberapa ketakutan terburuknya terwujud dan mimpinya yang paling cemerlang tenggelam dalam darah dan kotoran.
"Namun ia akan dikenang dengan baik oleh para sejarawan, dan suatu hari saya percaya ia juga akan dikenang oleh orang Rusia," kata Radchenko.