Dolar AS Mencapai 144 Yen di Jepang, Bisa Saja Melemah Jadi 170 Yen
Nilai dolar AS Rabu ini (7/9/2022) ditransaksikan di Jepang mencapai 144 yen, pertama kali sejak Agustus 1998.
Editor: Johnson Simanjuntak
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Nilai dolar AS Rabu ini (7/9/2022) ditransaksikan di Jepang mencapai 144 yen, pertama kali sejak Agustus 1998.
Bahkan Mister Yen atau Eisuke Sasakibara sempat menyebut kemungkinan mencapai 170 yen per dolar AS.
Depresiasi yen tidak berhenti di pasar valuta asing Tokyo pada tanggal 7 September, dan nilai tukar yen untuk sementara jatuh ke level 144 yen terhadap dolar, terdepresiasi lebih dari 2 yen dibandingkan dengan tanggal 6 September 2022.
"Nilai yen akan terus terdepresiasi. Bahkan bukan tidak mungkin mencapai 170 yen per dolar AS di waktu mendatang," papar Sakakibara komentarnya di TV Asahi kemarin (6/9/2022).
Di pasar valuta asing Tokyo pada tanggal 7 September, indikator ekonomi yang dirilis pada tanggal 6 September mengkonfirmasi soliditas ekonomi AS, dan pandangan bahwa FRB atau Dewan Federal Reserve akan terus menaikkan suku bunga secara luas, dan yen menjadi pergerakan untuk menjual dan membeli dolar semakin intensif.
Akibatnya, yen terdepresiasi ke level 144 untuk pertama kalinya dalam 24 tahun sejak Agustus 1998.
Mata uang di banyak negara di dunia telah jatuh terhadap dolar karena pandangan bahwa AS akan terus menaikkan suku bunga secara signifikan.Yen terdepresiasi sekitar 29 yen.
Orang dalam pasar uang mengatakan, "Sejak Ketua Fed Jerome Powell menjelaskan dalam pidatonya bulan lalu bahwa ia akan terus menaikkan suku bunga, depresiasi yen menjadi tak terbendung. Pandangan bahwa pengetatan moneter akan berlanjut di Amerika Serikat akan semakin melemahkan nilai yen."
Lalu mengapa yen terdepresiasi begitu cepat?
"Alasan terbesar untuk ini adalah perbedaan suku bunga antara Jepang dan Amerika Serikat," ungkap Sakakibara lagi.
Di Amerika Serikat, inflasi mengalami kemajuan dan harga naik dengan cepat. Akibatnya, pihak berwenang bergegas untuk memperketat kebijakan moneter dan menaikkan suku bunga untuk mengekang ekonomi yang terlalu panas.
Sebaliknya, Jepang telah mengalami deflasi untuk waktu yang lama. Meskipun harga akhirnya mulai naik, situasinya masih jauh dari pemulihan ekonomi yang kuat.
"Oleh karena itu, kami melanjutkan pelonggaran skala besar dan kebijakan suku bunga nol."