Presiden Burkina Faso Mengundurkan Diri setelah Kudeta, Ajukan 7 Syarat
Presiden Burkina Faso, Paul-Henri Sandaogo Damiba, mengundurkan diri untuk menghindari kekerasan setelah kudeta. Dia mengajukan tujuh syarat.
Penulis: Yurika Nendri Novianingsih
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
Diketahui, Burkina Faso adalah bekas jajahan Prancis.
Kementerian luar negeri Prancis mengutuk "kekerasan terhadap kedutaan kami dengan cara yang paling keras" oleh "para demonstran bermusuhan yang dimanipulasi oleh kampanye disinformasi terhadap kami".
Baca juga: Xi Jinping Akhirnya Muncul Pertama Kalinya setelah Rumor Kudeta di China
Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di televisi pemerintah, juru bicara militer baru Kapten Kiswendsida Farouk Azaria Sorgho meminta orang-orang untuk berhenti dari segala tindakan kekerasan dan vandalisme terutama terhadap kedutaan Prancis atau pangkalan militer Prancis.
Bagi beberapa orang di militer Burkina Faso, Damiba juga dianggap terlalu nyaman dengan bekas penjajah Prancis, yang mempertahankan kehadiran militernya di wilayah Sahel Afrika untuk membantu negara-negara memerangi berbagai kelompok bersenjata.
Beberapa yang mendukung pemimpin kudeta baru Traore telah meminta pemerintah Burkina Faso untuk mencari dukungan Rusia sebagai gantinya.
Di luar stasiun penyiaran negara pada hari Minggu, pendukung Traore terlihat bersorak dan mengibarkan bendera Rusia.
Krisis yang Mengakar
Traore berjanji untuk merombak militer sehingga lebih siap untuk melawan “ekstremis”.
Dia menuduh Damiba mengikuti strategi gagal yang sama seperti mantan Presiden Roch Marc Christian Kabore, yang digulingkan Damiba dalam kudeta Januari.
Negara bagian Burkina Faso yang terkurung daratan telah berjuang untuk menahan kelompok pemberontak, termasuk beberapa yang terkait dengan al-Qaeda dan ISIL (ISIS)
Sejak 2015, negara itu telah menjadi pusat kekerasan di seluruh wilayah Sahel, tempat ribuan orang tewas dan sekitar dua juta orang mengungsi.
Dengan sebagian besar Sahel berjuang melawan kerusuhan yang berkembang, kekerasan telah memicu serangkaian kudeta di Mali, Guinea, dan Chad sejak 2020.
Analis konflik mengatakan Damiba mungkin terlalu optimis tentang apa yang bisa dia capai dalam jangka pendek, tetapi perubahan di puncak tidak berarti situasi keamanan negara akan membaik.
Kelompok-kelompok bersenjata "kemungkinan besar akan terus mengeksploitasi" kekacauan politik negara itu, katanya.
(Tribunnews.com/Yurika)