Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

PBB Berikan Suara pada Integritas Teritorial Ukraina

Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia berpendapat banyak negara mungkin sangat sulit untuk mengungkapkan pandangan mereka secara terbuka

Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in PBB Berikan Suara pada Integritas Teritorial Ukraina
TIMOTHY A. CLARY / AFP
Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia berpendapat banyak negara mungkin sangat sulit untuk mengungkapkan pandangan mereka secara terbuka 

Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari

TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengadopsi resolusi tidak mengikat yang menuduh Rusia melakukan 'upaya pencaplokan ilegal' terhadap teritorial Ukraina.

Tidak hanya itu, PBB juga meminta negara-negara anggota mengabaikan hasil referendum pada empat bekas wilayah Ukraina timur yang ingin bergabung dengan Rusia.

Dikutip dari laman Russia Today, Jumat (14/10/2022), pemungutan suara pada Rabu lalu mengikuti penolakan Majelis Umum yang disampaikan pada Senin lalu untuk menggunakan surat suara rahasia, seperti yang diminta oleh Rusia, di tengah tekanan dari Amerika Serikat (AS) dan sekutunya dalam mengutuk Rusia atas aksesi tersebut.

Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia berpendapat banyak negara mungkin sangat sulit untuk mengungkapkan pandangan mereka secara terbuka.

Terlepas dari tekanan itu, empat negara telah bergabung dengan Rusia dalam memberikan suara menentang resolusi PBB, yakni Belarus, Suriah, Nikaragua, dan Korea Utara (Korut).

Baca juga: Kiev: Secara De Facto Ukraina Sudah Jadi Anggota NATO, Rusia: Bisa Terjadi Perang Dunia III

Ada 35 suara abstain termasuk China, India, Afrika Selatan, Pakistan, Thailand, Kuba, Vietnam, Armenia dan Aljazair.

Berita Rekomendasi

Sebelum meluncurkan operasi militernya di Ukraina pada Februari lalu, Rusia telah mengakui kedaulatan Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Lugansk (LPR), dengan alasan bahwa Ukraina telah gagal untuk mewakili dan melindungi orang-orang yang tinggal di sana.

Penduduk dari dua wilayah lain yakni Kherson dan Zaporozhye, juga memilih dengan selisih yang lebar dalam referendum publik untuk mendeklarasikan kemerdekaan dan bergabung dengan Rusia.

Presiden Rusia Vladimir Putin pun menandatangani perjanjian penyatuan dengan empat wilayah baru Rusia pada 5 Oktober lalu.

UNGA mengutuk plebisit itu sebagai tindakan 'ilegal', dengan mengatakan keempat wilayah tersebut untuk sementara diduduki karena agresi Rusia, yang melanggar integritas dan kedaulatan teritorial Ukraina.

Resolusi pada Rabu lalu menyerukan semua negara dan PBB untuk menolak mengakui wilayah tersebut sebagai bagian dari Rusia.

Rusia kemudian menegaskan bahwa referendum adalah satu-satunya cara yang sah bagi orang-orang untuk menggunakan hak mereka demi menentukan nasib sendiri dan dilindungi dari pemerintahan sebelumnya.

Dalam pidatonya baru-baru ini, Putin mengutip 'hak inheren yang disegel dalam Pasal 1 Piagam PBB, yang secara langsung menyatakan prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri rakyat'.

Ia juga sebelumnya berpendapat bahwa PBB sendiri menetapkan preseden hukum untuk referendum, setelah Mahkamah Internasional memutuskan bahwa deklarasi kemerdekaan sepihak Kosovo dari Serbia pada 2008 tidak melanggar hukum internasional.

Baca juga: PBB Kutuk Langkah Rusia Mencaplok 4 Wilayah Ukraina, 143 Negara Mendukung, 35 Abstain

Namun para pemimpin PBB telah menepis kesejajaran tersebut, dengan Presiden Majelis Umum Csaba Korosi mengulangi pernyataan pada Senin lalu bahwa referendum di bekas wilayah Ukraina adalah ilegal, sambil meminta banyak pihak untuk 'menemukan solusi politik berdasarkan Piagam PBB dan hukum internasional'.

Menolak referendum sebagai 'hal yang palsu', Ukraina yang menerima bantuan militer, pelatihan dan intelijen dari negara-negara NATO dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, bertekad untuk mengalahkan Rusia di medan perang.

Ukraina menegaskan bahwa serangan Rusia benar-benar tidak beralasan, bahkan saat mantan presidennya mengakui bahwa tujuan utama Ukraina sejak perjanjian Minsk 2014 adalah menggunakan gencatan senjata yang ditengahi Jerman dan Prancis untuk mengulur waktu dan 'menciptakan angkatan bersenjata yang kuat'.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas